Hardiknas 2 Mei 2021, Ketua Komisi II DPRD Jabar: Harus Direfleksikan, Bukan Sekedar Seremonial di Sosmed

2 Mei 2021, 20:54 WIB
Ketua Komisi II DPRD Jabar Rahmat Hidayat Djati. /Zaenal Mutaqin/

POTENSI BISNIS - Ketua Komisi II DPRD Provinsi Jawa Barat (Jabar), Rahmat Hidayat Djati mengajak untuk mereflesikan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2021.

Pada 2 Mei ini telah ditetapkan sebagai peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Penetapan Hardiknas pun di latarbelakangi oleh sosok yang memiliki jasa luar biasa dalam dunia pendidikan, yakni Ki Hajar Dewantara.

Baca Juga: Hari Pers Sedunia 3 Mei 2021: Berikut Peranannya di Indonesia

"Peringatan Hardiknas ini bertepatan dengan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara pada 2 Mei 1889. Sehingga, bisa dikatakan sekaligus mengenang kelahiran Bapak Pendidikan Indonesia tersebut," kata Rahmat daka keterangannya, pada Selasa 2 Mei 2021.

Lebih jauh, kata Rahmat, momentum Hardiknas ini harus menjadi momen menumbuhkan kembali sikap nasionalisme dan patriotisme dalam dunia pendidikan.

"Jadi bukan sekedar agenda yang bersifat seremonial dan ramai dalam bentuk poster maupun dijadikan status sosmed, lalu lenyap begitu saja," ujarnya.

Baca Juga: Hardiknas Jadi Momen Disdik Jabar Luncurkan Tiga Program Inovasi

Menurutnya, dari momentum hardiknas ini harus menjadi suatu refleksi kita bersama dalam melihat potret dunia pendidikan hari ini.

Ia mengutip isi Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 yang menjelaskan, tujuan pendidikan ialah 'mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara'.

"Dalam Kamus Besar Indonesia 'cerdas' adalah sempurna perkembangan akal budinya. 'Mencerdaskan' ialah usaha yang dilakukan agar seseorang memiliki pemahaman dan budi pekerti yang baik," ujarnya.

Baca Juga: Klasemen MotoGP 2021: Setelah Jack Miller Gagalkan Hatrick Quartararo untuk Naik Podium di Spanyol

Rahmat menambahkan, objek yang dicerdaskan bukan hanya peserta didik sata, tetapi seluruh komponen kehidupan bangsa.

Baik pada aspek budaya, sosial, politik, lingkungan, sehingga luas cakupannya dalam seluruh prikehidupan berbangsa.

Menurut Rahmat juga, bangsa yang maju dan berperadaban selalu dibangung di atas tradisi literasi yang baik.

"Bahkan dalam Islam yang menjadi wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW saat bertafakur di gua hira adalah Iqra. Sehingga dengan membaca tingkat pengetahuan kita akan bertambah," kata dia.

Selain itu, pemahaman akan semakin luas, pemikiran pun akan jadi terbuka dengan membaca peradaban semakin maju.

"Namun, sayangnya kegemaran masyarakat kita dalam membaca masih sangat lemah menurut data Unesco, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca," ujarnya.

Dikatakannya, ini merupakan jumlah yang sangat mengecewakan artinya kegemaran masyarakat kita dalam membaca masih sangat lemah.

Di saat kondisi masyarakat kita yang malas membaca teknologi hadir dengan begitu derasnya dan tidak bisa dibendung, pada akhirnya ada sebuah pelompatan yang terjadi.

"Dengan ilmu yang masih sangat minim, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar handphone berjam-jam. Jangan heran jika Indonesia menjadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah," sambungnya.

"Kecepatan jari untuk langsung like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya “masyarakat latah”. Padahal berita tersebut belum di analisis secara mendalam (tabayyun)," kata dia lagi.

Menurut Rahmat, inilah yang disebut era Post-truth dimana sesuatu yang palsu lebih mendominasi di banding kebenaran itu sendiri.

Memasuki era industri revolusi 4.0 yang dimana segala bentuk kegiatan kebudayaan dilakukan melalui teknologi digitalisasi, adanya kehadiran robot, artificial intelegence, machine learning, biotechnology, blockchain, internet of things (IoT), serta driverless vehicle.

"Singkat kata hari ini kita hidup di era yang segala sesuatunya serba mudah, serba cepat jangan sampai kita menjadi bangsa yang malas, tidak produktif tetapi harus tetap berpikir kritis terhadap segala sesuatu, terhadap berbagai situasi yang terjadi," kata Rahmat.

Sebab kata dia, kecepatan dan kecanggihan teknologi “smartphone” harus berbanding lurus dengan kemampuan manusia dalam memahaminya “good people”.

Sehingga dengan begitu kita tidak akan di perbudak oleh teknologi tetapi teknologi akan banyak membantu kehidupan kita, dan menjadikan teknologi untuk lebih memanusiakan manusia.***

Editor: Pipin L Hakim

Tags

Terkini

Terpopuler