POTENSI BISNIS - Setelah disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh DPR beberapa waktu lalu, menyulut reaksi dari berbagai elemen masyarakat yang menolak.
Elemen masyarakat tersebut berasal dari buruh, mahasiswa, dan masyarakat lainnya turut menyuarakan penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Terkait fenomena tersebut pemerintah menanggapi aksi turun ke jalan ini dengan menyerukan agar yang merasa keberatan, dan tidak setuju untuk mengajukan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Sepak Bola Indonesia Liga 1 dan 2 Dilanjutak 1 November, Kesepakatan Itu Menghasilkan 3 Poin Berikut
Proses judicial review di Mahkamah Konstitusi bukan satu-satunya cara untuk mengubah atau membatalkan undang-undang.
“Seruan Presiden Joko Widodo atau (Jokowi) agar pihak yang tidak puas terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja mengajukan judicial review ke MK, bak lempar batu sembunyi tangan,” ucap Said Salahudin, Pemerhati Hukum Tata Negara yang juga Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs KSPI pada 13 Oktober 2020.
Jika DPR dan Presiden memiliki kepekaan terhadap aspirasi rakyat, semestinya tuntutan masyarakat itu mereka selesaikan sendiri, bukan dilempar ke lembaga lain.
Baca Juga: Kualifikasi Piala Dunia 2022: Bolivia Harus Menelan Kekalahan Kedua dari Argentina Skor 1-2
“Tidak sepantasnya pemerintah lempar tangan soal Omnibus Law UU Cipta Kerja ini kepada lembaga negara yang lain. Dengan cara seperti itu pemerintah seolah menjadikan MK keranjang sampah. Konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpangi konstitusi,” tambahnya.
Hal ini sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa (TAP MPR VI/2001) dengan tegas disebutkan bahwa dalam etika politik dan pemerintahan, pemerintah dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi rakyat.