Wacana Hukuman Mati Bagi Juliari Batubara dan Edhy Prabowo, KPK: Kami Paham Harapan Masyarakat

- 17 Februari 2021, 15:10 WIB
Ilustrasi KPK. Wacana hukuman mati
Ilustrasi KPK. Wacana hukuman mati /Ilustrasi KPK. /ANTARA/Sigid Kurniawan

POTENSI BISNIS – Wacana hukuman mati bagi Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mulai disuarakan.

Namun, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangkaan pasal yang diterapkan dalam kasus mereka berdua masih berkaitan dengan dugaan penerimaan suap.

Hal tersebut dikatakan oleh Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 17 Februari 2021.

 Baca Juga: Ikatan Cinta 17 Februari 2021, Elsa Mulai Kebingungan Rahasianya Terbongkar

Menurut Ali untuk saat ini hukuman maksimal yang bisa mereka dapat adalah pidana penjara seumur hidup.

“Ancaman hukuman maksimal-nya sebagaimana ketentuan UU (Undang-Undang) Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) adalah pidana penjara seumur hidup," kata Ali Fikri, dikutip Potensibisnis.com dari ANTARA.

KPK memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian kedua kasus tersebut, namun menurut Ali segalanya harus mengikuti aturan dan sesuai pasal yang ada.

Baca Juga: Fakta Menarik Dokter Marie Thomas: Selain Dirayakan Google Doodle, Ayah Militer, Suami Satu Profesi dengannya 

Saat ini Ali mengatakan, hasil tangkap tangan yang dilakukan KPK terkait dua kasus tersebut diawali dengan penerapan pasal-pasal dugaan suap.

"Benar, secara normatif dalam UU Tipikor terutama Pasal 2 ayat (2) hukuman mati diatur secara jelas ketentuan tersebut dan dapat diterapkan" ucapnya.

"Akan tetapi bukan hanya soal karena terbukti-nya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur Pasal 2 ayat (1) juga harus terpenuhi," lanjutnya.

Namun, ia memastikan pengembangan kasus itu sangat dimungkinkan seperti penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor bahkan penerapan ketentuan UU lain seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Kami tegaskan, tentu sejauh ditemukan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk penerapan seluruh unsur pasal-pasal dimaksud. Proses penyidikan kedua perkara tersebut sampai saat ini masih terus dilakukan," ujar Ali.

Wacana ini mulanya datang dari, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej.

Menurutnya dua mantan menteri yang tersandung kasus pidana korupsi di tengah masa pandemi memang layak dihukum mati.

"Bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatan-nya sampai pada pidana mati," katanya.

Bukan hanya omongan kosong semata, dia juga menyampaikan dua alasan pemberat yang membuat kedua mantan menteri tersangka tindak pidana korupsi itu layak dituntut pidana mati.

Pertama, mereka melakukan tindak pidana korupsi saat dalam keadaan darurat, yakni darurat Covid-19 dan kedua, mereka melakukan kejahatan itu dalam jabatan.

Hal tersebut dia sampaikan dalam acara Seminar Nasional "Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi," ucap Umar.

Acara ini berlangsung secara virtual, dipantau di Yogyakarta, Selasa 16 Februari 2021.

Seperti diberitakan Potensibisnis.com sebelumnya, Juliari Batubara telah menerima suap senilai Rp.17 miliar dari "fee" pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di Jabodetabek.

"Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima 'fee' Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS (Matheus Joko Santoso) kepada JPB (Juliari Peter Batubara) melalui AW (Adi Wahyono) dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Minggu dini hari.

Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.

"Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang 'fee' dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB," kata Firli

Sedangkan Edhy Prabowo ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan "forwarder" dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.

Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang saat ini jadi penyedia jasa kargo satu-satunya untuk ekspor benih lobster itu selanjutnya ditarik ke rekening pemegang PT ACK, yaitu Ahmad Bahtiar dan Amri senilai total Rp9,8 miliar.

Selanjutnya pada 5 November 2020, Ahmad Bahtiar mentransfer ke rekening staf istri Edhy bernama Ainul sebesar Rp3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy, istrinya Iis Rosyati Dewi, Safri, dan Andreau.

Antara lain dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istrinya di Honolulu, AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, dan baju Old Navy.

Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy juga diduga menerima 100 ribu dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril.***

 

Editor: Muhammad Sadili

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah