Sejumlah Buruh Terus Menolak Tegas Omnibus Law RUU Ciptaker, Ternyata Ini Alasannya

- 25 Agustus 2020, 20:27 WIB
ilustrasi Omnibus Law.
ilustrasi Omnibus Law. /Pikiran-rakyat.com

"Kalaupun ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari pemerintah, tapi berlaku untuk pekerja dengan masa kerja 1 tahun ke atas. Jadi, pengusaha buat saja kontrak kerja per 11 bulan saja diputus terus dikontrak lagi dan seterusnya, maka tidak perlu bayar JKP," ujarnya.

Berikutnya, di dalam omnibus law, pesangon dihapus dan dikurangi nilainya. Padahal, dalam UU No 13/2003 disebutkan ada tiga komponen dalam pesangon, yaitu uang pesangon itu sendiri, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebesar 15 persen.

Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani Sebut APBN Bantu Menahan Kontraksi Ekonomi Indonesia Lebih Dalam

"Dalam omnibus law, uang penggantian hak dihapus dan bukan lagi kewajiban. Nilai dari uang penghargaan masa kerja dikurangi," ucapnya.

RUU Cipta Kerja juga membuat waktu kerja eksploitatif karena hanya diatur waktu kerja maksimal 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.

Menurutnya, pengusaha bisa saja buruh dipekerjakan 7 hari dalam seminggu tanpa libur, dengan cara 6 jam kerja sehari Senin sampai Sabtu dan Minggu 4 jam kerja sehari. Hal itu berpotensi mengarah pada perbudakan modern.

Persoalan lainnya adalah tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar yang mudah masuk ke Indonesia, mereka tidak lagi memerlukan surat izin tertulis dari menteri.

Sementara itu, dalam UU No 13/2003, RPTKA mensyaratkan harus dilaporkan bahwa TKA wajib didampingi tenaga kerja lokal sebagai pendamping agar keluar surat izin tertulis menteri.

"Tapi dalam omnibus law, TKA bekerja dulu baru dilaporkan menyusul tenaga lokal pendamping tanpa harus ada surat izin menteri, jadi mudah sekali buruh kasar TKA bekerja di Indonesia," tandasnya.***

Halaman:

Editor: Pipin L Hakim

Sumber: Warta Ekonomi Sindonews


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah