Sejumlah Buruh Terus Menolak Tegas Omnibus Law RUU Ciptaker, Ternyata Ini Alasannya

- 25 Agustus 2020, 20:27 WIB
ilustrasi Omnibus Law.
ilustrasi Omnibus Law. /Pikiran-rakyat.com

POTENSI BISNIS - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, ada 9 alasan mengapa buruh menolak draft omnibus law.

Di antaranya, hilangnya upah minimum, berkurangnya nilai pesangon, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dipermudah, hak cuti dan upah atas cuti dihapus, TKA buruh kasar dipermudah masuk, sanksi pidana dihapus, serta hilangnya jaminan kesehatan, dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak serta outsourcing seumur hidup.

Selain itu, pekerja kontrak dan outsourcing diperbolehkan untuk seluruh jenis pekerjaan dan berlaku seumur hidup tanpa batas kontrak.

Baca Juga: Jika Omnibus Law Disahkan, KSPI Berharap UU No. 13/2003 Tidak Direvisi

Mengakibatkan, buruh tidak lagi diangkat menjadi karyawan tetap. Karena bukan karyawan tetap, dengan sendirinya, hak pesangon pekerja kontrak dan outsourcing tidak akan pernah mendapatkan pesangon seumur hidupnya selayaknya karyawan tetap.

"Dalam omnibus law, upah akan makin murah. Karena selain menghilangkan UMK dan UMSK, juga diberlakukan upah minimum industri pada karya. Selain itu, kenaikan upah hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam PP No 78/2005, kenaikan upah minimum didasarkan pada inflansi plus pertumbuhan ekonomi," papar Said Iqbal, Selasa 25 Agustus 2020.

Seperti dikabarkan sebelumnya, puluhan ribu buruh melakukan berunjuk rasa menolak omnibus law RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR RI dan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pada Selasa 25 Agustus 2020.

Baca Juga: Demo Buruh Hari Ini di Jakarta: Tolak Omnibus Law RUU Ciptaker dan Stop PHK

Sebagaimana PotensiBisnis.com melansir artikel Wartaekonomi sindikasi SINDONews, Aksi tersebut juga serentak digelar di beberapa daerah lainnya, yaitu Bandung, Serang, Semarang, Surabaya, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, Batam, Lampung, Banjarmasin, Samarinda, Gorontalo, Makassar, Manado, Kendari, Mataram, Maluku, Ambon, Papua, dan sebagainya.

"Kalaupun ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari pemerintah, tapi berlaku untuk pekerja dengan masa kerja 1 tahun ke atas. Jadi, pengusaha buat saja kontrak kerja per 11 bulan saja diputus terus dikontrak lagi dan seterusnya, maka tidak perlu bayar JKP," ujarnya.

Berikutnya, di dalam omnibus law, pesangon dihapus dan dikurangi nilainya. Padahal, dalam UU No 13/2003 disebutkan ada tiga komponen dalam pesangon, yaitu uang pesangon itu sendiri, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebesar 15 persen.

Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani Sebut APBN Bantu Menahan Kontraksi Ekonomi Indonesia Lebih Dalam

"Dalam omnibus law, uang penggantian hak dihapus dan bukan lagi kewajiban. Nilai dari uang penghargaan masa kerja dikurangi," ucapnya.

RUU Cipta Kerja juga membuat waktu kerja eksploitatif karena hanya diatur waktu kerja maksimal 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.

Menurutnya, pengusaha bisa saja buruh dipekerjakan 7 hari dalam seminggu tanpa libur, dengan cara 6 jam kerja sehari Senin sampai Sabtu dan Minggu 4 jam kerja sehari. Hal itu berpotensi mengarah pada perbudakan modern.

Persoalan lainnya adalah tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar yang mudah masuk ke Indonesia, mereka tidak lagi memerlukan surat izin tertulis dari menteri.

Sementara itu, dalam UU No 13/2003, RPTKA mensyaratkan harus dilaporkan bahwa TKA wajib didampingi tenaga kerja lokal sebagai pendamping agar keluar surat izin tertulis menteri.

"Tapi dalam omnibus law, TKA bekerja dulu baru dilaporkan menyusul tenaga lokal pendamping tanpa harus ada surat izin menteri, jadi mudah sekali buruh kasar TKA bekerja di Indonesia," tandasnya.***

Editor: Pipin L Hakim

Sumber: Warta Ekonomi Sindonews


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah