Ribuan Orang Turun ke Jalan untuk Melakukan Protes atas Kudeta Militer Myanmar di Hari Kedua

7 Februari 2021, 14:15 WIB
Ribuan orang berkumpul di jalanan untuk memprotes kudeta militer pada Minggu, 7 Februari 2021.* /REUTERS/Stringer/REUTERS


POTENSIBISNIS - Hari kedua ribuan orang turun ke jalan di kota terbedar Myanmar pada Minggu, 7 Februari 2021.

Hal tersebut dilakukan untuk memprotes penggulingan kekuasaan sipil dan penahanan oleh Junta Militer terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi pekan lalu.

Dengan membawa balon berwarna merah, para ngunjuk rasa di Yangon itu 'Warna merah yang mewakili Liga Nasional Aung San Suu Kyi untuk Partai Demokrasi (LND).

Baca Juga: CEK FAKTA: Dikabarkan PSBB Jawa dan Bali Diperpanjang hingga 28 Maret 2021, Ini Penjelasannya

Mereka juga meneriaki "Kami tidak ingin kediktatoran militer!, Kami ingin Demokrasi".

Bahkan hingga menjelang malam hari, sekitar 100 orang juga berkumpul di kota pesisir Mawlamine di tenggara dan mahasiswa serta dokter berkumpul di kota Mandalay.

Selain itu, Kudeta Militer Myanmar pun dikecam para pemimpin dua hingga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bansa (PBB), Antonio Guterres.

Mereka mendesak pemimpin Militer Myanmar melepaskan kekuasaan yang direbutnya dan membebaskan para politisi.

Baca Juga: 6 Soundtrack Drama Korea Mr. Queen yang Membuat Kecanduan

Namun Militer Myanmar berargumentasi bahwa Pemilu yang dimenangkan Aung San Suu Kyi itu berlangsung tak jujur.

Militer juga mendakwa Aung San Suu Kyi melakukan tindakan melanggar hukun dengan mengimpor hand talky secara ilegal.

Sebagaimana dilaporkan Reuters, dalam pidatonya yang menyinggung soal Kudeta Militer Myanmar, Presiden AS Joe Biden antara lain mengatakan, tak pernah diragukan lagi bahwa dalam sistem pemerintahan demokrasi, militer tak boleh membatalkan hasil Pemilu.

Baca Juga: AFC Tunda Gelaran Kualifikasi Piala Dunia 2022, Bagaimana Nasib Indonesia

Seperti dikabarkan sebelumnya, pascaperistiwa Kudeta Militer Myanmar, ribuan orang turun ke jalan di Yangon mengecam tindakan tersebut.

Selain itu, ribuan orang tersebut juga menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Aksi yang dilakukan itu merupakan demonstrasi pertama yang berlangsung di jalanan sejak para jenderal merebut kekuasaan pada Senin, 1 Februari 2021.

Baca Juga: Liverpool vs Man City, Ini Alasan Pep Guardiola Percaya Diri Benamkan The Reds di Laga Malam Nanti

"Kami kehilangan kebebasan, keadilan, dan sangat membutuhkan demokrasi," tulis seorang pengguna Twitter, dilansir dari ANTARA. Seraya mengunggah cuitan tambahannya, 'Tolong dengarkan suara Myanmar'.

Tak hanya itu, mereka pun mendesak Militer membebaskan Aung San Suu Kyi sang peraih Nobel Perdamaian.

Kemudian para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinannya, yang telah ditahan sejak kudeta pada Senin lalu.

Baca Juga: Live Streaming Ikatan Cinta Hari Ini, 7 Februari: Al dan Andin Bakal Uwuu Lagi, Tekad Cari Pembunuh Roy

"Diktator militer, gagal, gagal, Demokrasi, menang, menang," teriak pada demonstran itu.

"Melawan kediktatoran Militer," demikian tulisan spanduk yang diusung para peserta unjuk rasa itu.

Banyak di antara mereka yang mengenakan pakaian warna merah khas NLD, dan beberapa orang juga membawa bendera-bendera merah.

Demonstrasi pada Sabtu, 6 Februari 2021 itu merupakan tanda pertama kerusuhan jalanan di Myanmar.

Myanmar merupakan negara yang dalam sejarahnya diwarnai dengan serangkaian tindakan keras berdarah terhadap pengunjuk rasa.

Baca Juga: Pakar Memprediksi Pandemi Covid-19 Bertahan Hingga 7 Tahun ke Depan

Demonstransi anti kudeta tersebut juga berlangsung di Melbourne, Australia, serta Taipei, Ibu Kota Taiwan.

Sebelumnya, gerakan pembangkangan sipil telah berkembang di Myanmar sepanjang minggu ini.

Gerakan itu ditandai dengan aksi mogok kerja, di antaranya dilakukan para dokter dan guru.

Selain itu, pada setiap malam selalu ada orang-orang yang memukul-mukul panci dan wajan untuk menunjukkan kemarahan.

Selain sekitar 150 penangkapan yang dilaporkan kelompok hak asasi manusia pasca kudeta tersebut.

Media lokal pun melaporkan sekitar 30 orang telah ditahan lantaran melakukan protes yang berisik.

Junta Myanmar bahkan telah mencoba membungkam perbedaan pendapat dengan memblokir sementara Facebook.

Kemudian Twitter, dan Instagram pada Sabtu, dalam menghadapi gerakan protes yang berkembang.

Pihak berwenang pun memerintahkan penyedia layanan internet untuk tidak memberikan akses bagi Twitter dan Instagram "sampai pemberitahuan lebih lanjut," dikatakan perusahaan telepon selular Norwegia Telenor Asa.

Permintaan untuk layanan VPN telah melonjak di Myanmar, layanan tersebut memungkinkan segelintir orang masih bisa mengakses media sosial yang dilarang Junta.

Akan tetapi para pengguna VPN melaporkan gangguan pada layanan selular, yang diandalkan sebagian besar orang di negara berpenduduk 53 juta itu untuk mendapatkan berita dan berkomunikasi.

Sejak kudeta Aung San Suu Kyu tak terlihat di depan umum. Bahkan pengacara Aung San Suu Kyi dan WIn Myint presiden yang digulingkan menyebut keduanya kliennya itu ditahan di rumah mereka.

Dan ia mengatakan, tak bisa menemui Aung San Suu Kyi maupun Win Myint, lantaran mereka masih diinterogasi.

Aung San Suu Kyi menghadapai dakwaan mengimpor enam walkie-talkie secara ilegal, sementara Win Myint dituduh melanggar pembatasan virus corona.

"Tentu saja, kami menginginkan pembebasan tanpat syarat kerena mereka tidak melanggar hukum," kata Khin Maung Zaw, pengacara veteran yang mewakili keduanya.

Aung San Suu Kyi 75 tahun, pada masa lalu menghabiskan sekitar 15 tahun dalam tahanan rumah selama perjuangan melawan Junta MIliter, sebelum transisi demokrais, yang bermasalah dimulai pada 2011.***

Editor: Pipin L Hakim

Sumber: REUTERS ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler