Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW dan Maksud Diperingatinya

- 22 Oktober 2020, 16:16 WIB
Ucapan selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW bulan Rabiul Awal 1442 H/2020.*
Ucapan selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW bulan Rabiul Awal 1442 H/2020.* /PotensiBisnis.com/Pipin

POTENSI BISNIS - Saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW atau lebih dikenal dengan maulid Nabi. Umat Muslim terlebih selalu merayakan berbagai kegiatan keagamaan guna menghormati Nabi Muhammad SAW.

Namun perlu di ketahui sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW, dan sejak kapan dilaksanakannya?

Sebagaimana dikutip PotensiBisnis.com dari buku Pro dan Kontra Maulid Nabi karya AM. Waskito, menyebutkan ada tiga teori sejarah Maulid Nabi dalam sejarah Islam sudah berlangsung lama, bahkan ribuan tahun yang lalu.

Baca Juga: Sambut Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Bulan Rabiul Awal, Berikut Amalan dan Keistimewaannya

Pertama, perayaan Maulid yang pertama kali diadakan oleh Dinasti Ubaid (Fathami) di Mesir yang berhaluan Syiah Ismailiyah (Rafidhah). Dinasti ini berkuasa di Mesir tahun 362-567 Hijriyah sekitar abad 4-6 Hijriyah.

Mulanya dirayakan di era kepemimpinan Abu Tamim, yang memiliki gelar Al-Mu'is Li Dinillah. Perayaan Mauldi Nabi pada zaman Dinasti ini hanya salah satu bentuk perayaan saja.

Selain itu, Dinasti ini juga merayakan hari Asyura, Maulid Ali, Maulid Hasan, Maulid Husain, Maulid Fatimah dan lainnya.

Kedua, perayaan Maulid di kalangan ahlus sunnah pertama kali diadakan oleh Sultan Abu said Muzhaffar Kukabri yang merupakan gubernur Irbil di wilayah Irak, ia hidup pada tahun 549-630 Hijriyah.

Baca Juga: Ragam Menu Indonesia di Paris, Lagi Promo Jamu, Kopi, hingga Nasi Goreng

Saat perayaan Maulid diadakan, Muzaffar ini mengundang para ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu dan seluruh rakyatnya. Para tamu undangan tersebut dijamu dengan hidangan makanan, memberikan hadian, bersedekah kepada fakir-miskin dan lainnya.

Ketiga, perayaan Maulid pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 567-622 Hijriyah, kala itu merupakan penguasa Dinasti Ayyub di bawah kekuasaan Daulah Abbassiyah.

Tujuannya merayakan Maulid untuk meningkatkan semangat jihad kaum muslimin dalam rangka menghadapi perang Salib melawan kaun Salibis dari Eropa dan merebut Yerusalem.

Baca Juga: Sri Mulyani: Pemerintah Alokasikan Dana Rp2,6 Triliun untuk Pemulihan Ekonomi Pesantren

Kemudian imam ahli hadist dan sejarah yang paling giat mendukung perayaan Maulid Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan, orang yang pertama kali merintis peringatan Maulid ini ialah penguasa Ibril, Malik Al-Muzhaffar Abu Sa'id Kukabri bin Zainuddin bin Baktatin adalah salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan.

Almuzhaffar ini merupakan seorang raja yang membangun masjid Al-Jami Al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun.

Profesor Ash Shallabi berpandangan dalam bukunya yang membahas biografi Shalahuddin Al-Ayyubi, Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shallabi mengemukakan, tugas Shalahuddin untuk membersihakn Mesir dari pengaruh Syiah Rafidhah sangatlah sulit, karena Dinasti Ubaid (Fathimah) sudah menetap selama 280 tahun.

Baca Juga: Hari Santri Nasional 2020, BI Dorong Pesantren Penggerak Ekonomi Syariah Inklusif

Baik dari ajaran, tradisi budaya Syiah sudah hampir-hampir melekat dengan kehidupan rakyat Mesir.

Sebelumnya, Dinasti Ubaid membangun kekuasaan di Tunisia, akibat kesesatan mereka memuncak, pada kaum Muslimin Tunisia menghancurkan mereka sampai ke akar-akannya.

Lalu sisa-sisa bangsawan Ubaidiyah keturunan Ubaidillah Al-Mahdi le ke Mesir, dan membangun kekuasaan politik. Sehingga mereka berhasil menguasai pusat pemerintahan kala itu.

Belajar dari pengalaman buruk di Tunisia, Dinasti Ubaid menempuh cara-cara kultural dengan membangun perguruan Al-Azhar sebagai pusat kaderisasi dai-dai Syiah Rafidhah untuk disebarkan ke wilayah Mesir.

Tak hanya itu, mereka pun berusaha membangun simpati rakyat Mesir dengan mengadakan berbagai perayaan keagamaan. Baik dari sisi dakwah, mereka menampakkan diri menyebarkan ajaran-ajaran Shufi (Tasawuf), yang lebih menitikberatkan pada kelembutan hari dan akhlak.

Ketika Shalahuddin mulai berkuasa di Mesir di bawah otoritas Dinasti Zanki dan Daulah Abbassiyah. Namun Shalahuddin tidak serta merta menghancurkan peradaban Syiah.

Dirinya menyadari bahwa peradaban Syiah di Mesir sudah berusia ratusan tahun.
Sehingga Sultan Shalahuddin secara perlahan merubah kurikulum ajaran Syiah, buku-buku dan simbol-simbol Syiah hingga ulama-ulama Syiah dari perguruna Al-Azhar seluruhnya diganti menjadi versi ahlus sunnah.

Selain itu, Sultan Shalahuddin tetap mempertahankan perayaan Maulid Nabi dan membersihkan perayaan-perayaan lain yang tak sesuai akidah ahlus sunnah.

Dalam hal ini ada proses kompromi beberapa teori hasil dari beberapa teori sejarah sebelumnya tanpa harus ada pertentangan. Maulid Nabi ini mulanya diadakan Dinasti Ubaid di Mesir.

Perayaan Maulid Nabi tersebut satu di antara sekian banyak perayaan yang dilakukan tak lebih untuk membangun citra dan juga mendapatkan dukungan rakyat Mesir. Sebab itu dilakukan secara terpaksa oleh Syiah Ubaidiyah yang sebelumnya dihancurkan oleh kaum Muslimin Tunisia.

Dengan kedatangan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi menguasai Mesir ini merupakan berkah bagi kaum Muslimin. Shalahuddin berjuang kera agar haluan akidah rakyat Mesir kembali ke pangkuan ahlus sunnah, dengan pendekatan-pendekatan kultural.

Kala itu pelaksanaan Maulid Nabi di Mesir mengundang ketertarikan Gubernur Irbil, Irak Muzhaffar Kukabri, hingga Sultan Shalahuddin menikahkan seorang laki-laki dengan saudara perempuannya Rabiah Khatun bintu Ayyub.

Kemudian kebutuhan peringatan Maulid Nabi ini pula dirasakan mendesak, ketika kam Muslimin mengalami kelemahan dan kelelahan akibat perang terus-menerus menghadapi kaum Salibis Eropa.

Kala itu, Sultan Shalahuddin memanfaatkan momen peringatan Maulid Nabi untuk mengingatkan kembali para kaum Muslimin terhadap jejak-jejak sejarah Rasulullah SAW.

Dengan begitu, asal-usul peringatan Maulid Nabi dalam sejarah kaum Muslimiin sejak ribuan tahun lalu, berawal dari Dinasti Syiah Ubaidiyah kemudian diadaptasi ke dalam kultur Ahlus Sunnah wal Jamaah oleh Malik Muzaffar dan Sultan Shalahuddin.***

Editor: Pipin L Hakim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x