Peringatan G30S/PKI, Hari Kesaktian Pancasila dan Bendera Setengah Tiang, Simak Asal Usul Maknanya

- 30 September 2020, 15:21 WIB
Ilustrasi pengibaran bendera setengah tiang.
Ilustrasi pengibaran bendera setengah tiang. /

POTENSI BISNIS - Setiap tanggal 30 September Indonesia memperingati sejarah kelam tentang Gerakan 30 September 1965 atau dikenal G30S/PKI. Dalam rangka memperingatinya, bendera setengah tiang berkibar di depan gedung DPR RI.

Pengibaran bendera setengah tiang itu juga berlaku di instansi pemerintahan. Surat edaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkaitan pengibaran bendera setengah tiang dan upacara Hari Kesaktian Pancasila pun sudah dibagikan.

Pengibaran tersebut sebagai bentuk penghormatan, berkabung dan mengenang para pahlawan yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI tersebut.

Baca Juga: Jadwal Pencairan BLT Tahap 5 Segera Cek Nama Anda Jika Belum Dapat Bisa Lapor bantuan.kemnaker.go.id

Asal usulnya, Pemerintah Indonesia mengeluarkan imbauan untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk berkabung atas wafatnya Presiden ketiga Indonesia BJ Habibie.

Imbauan pemerintah itu pun dilaksanakan serentak terutama oleh instansi pemerintahan. Ternyata tradisi pengibaran bendera setengah tiang pertama kali dilakukan pada 1612.

Dokumentasi tulisan paling awal soal tradisi ini adalah kisah terbunuhnya komandan kapal Hearts Ease William Hill oleh orang Eskimo saat melakukan ekspedisi ke kutub Utara. Sebagai bentuk berkabung, awak kapal pun menurunkan bendera kapal menjadi setengah tiang.

Saat kembali ke London, warga yang memyambut Heart Ease mempertanyakan apa yang terjadi dengan bendera kapal yang dikibarkan setengah tiang.

Baca Juga: Gelaran Debat Capres AS Donal Trump dan Joe Biden, Rupiah Menguat Bahkan Posisi Terbaik Kedua ASIA

Awak kapal pun menceritakannya dan sejak itu kebiasaan mengibarkan bendera setengah tiang dilakukan sebagai bentuk duka cita sekaligus penghormatan.

Teori lainnya menyebutkan alasan pengibaran bendera setengah tiang karena adanya 'bendera kematian yang tak terlihat' berkibar di atasnya.

Pengibaran bendera setengah tiang tidak dilakukan secara asal-asalan. Aturannya adalah bendera dikerek hingga puncak, kemudian diturunkan hingga setengah tiang. Begitu pula saat penurunan. Bendera yang semula berada di posisi setengah tiang hendaknya dikerek ke atas mendekati puncak terlebih dulu, baru kemudian diturunkan sepenuhnya.

Tidak semua negara mempraktikan tradisi ini. Misalnya di Arab Saudi melarang pengibaran bendera setengah tiang karena tulisan suci dalam benderanya.

Baca Juga: Peringatan Tragedi G30S/PKI, Berikut Kumpulan Ucapan Mengenang 7 Pahlawan Revolusi

Sehingga bila diturunkan berarti sama saja dengan menghujat. Negara lainnya yang melarang pengibaran bendera adalah Somalia dan Afganistan.

Makna pengibaran bendera setengah tiang pun kini lebih dalam. Dari semula hanya ungkapan duka cita akibat peristiwa pembunuhan, menjadi penghormatan bagi seseorang yang dinilai sangat berjasa pada negaranya.

Simbol Duka dan Penghormatan tradisi pengibaran bendera setengah tiang sudah dilakukan sejak abad ke-17 masehi. Belum diketahui dengan pasti di mana pertamakali pengibaran bendera setengah tiang dilakukan.

Namun yang jelas, tradisi seperti ini diterapkan oleh di berbagai negara di seluruh belahan bumi. Filosofi bendera setengah tiang bagi banyak bangsa di dunia dianggap sebagai simbol duka, kehilangan, terkadang disertai dengan rasa hormat, atau bahkan kesedihan yang mendalam misalnya lantaran terjadinya tragedi hebat.

Baca Juga: Film G-30S/PKI Dinilai Mengandung Unsur Pendidikan Karakter Kebangsaan

G. Bartram dalam A Guide to Flag Protocol in the United Kingdom (2013) menuliskan, bendera diturunkan setengah tiang untuk memberikan ruang bagi 'kematian yang tak terlihat' yang 'terbang ke atas dari tengah tiang'.

Ada dua istilah yang mengacu kepada tradisi ini, yakni half-mast dan half-staff. Istilah half-malf digunakan jika pengibaran bendera dilakukan di kapal laut atau di tiang kapal. Sedangkan di darat, istilah yang digunakan adalah half-staff. Kendati demikian, tidak semua negara mesti menganut 'aturan' dua istilah ini.

Belum ada kesepakatan khusus ihwal definisi 'setengah tiang', apakah benar-benar di titik tengah ukuran tiang, dihitung dengan jumlah kerekan bendera, atau diukur dengan ketentuan lainnya.

Masing-masing negara punya pedoman sendiri. Di Inggris, misalnya, dikutip dari Flaginstitute.org, bendera harus dikibarkan tidak kurang dari dua pertiga titik mula bendera mulai dikerek, sampai ketinggian antara bagian atas bendera dan bagian atas tiang.

Baca Juga: Jadwal Acara TV Hari Ini Rabu 30 September Berbagai Tayang Menarik ANTV, MNCTV, GTV, hingga TransTV

Tradisi pengibaran bendera setengah tiang dilakukan di berbagai negara di seluruh dunia, dari bangsa-bangsa Barat, Latin, Afrika, Australia dan sekitarnya, Timur-Tengah, juga belahan Asia lainnya, termasuk Indonesia.

Pengibaran bendera setengah tiang dikibarkan dalam momen-momen khusus terkait kesedihan yang biasanya ditentukan oleh pemerintah negara atau daerah yang bersangkutan. Ada keunikan khusus terkait ini di Britania Raya.

Saat raja atau ratu Inggris mangkat, pengibaran bendera setengah tiang tidak pernah dilakukan karena selalu ada raja atau ratu yang akan segera menggantikan.

Penerapan di Indonesia Aturan pengibaran bendera setengah tiang di Indonesia diatur dalam Pasal 12 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Di Indonesia, pengibaran bendera setengah tiang dilakukan ketika ada tokoh yang dianggap sangat penting, berjasa, dan berpengaruh meninggal dunia, termasuk mantan presiden. Pemerintah Daerah juga berhak mengimbau pengibaran bendera setengah tiang, semisal ketika ada tokoh berpengaruh kebanggaan daerah tersebut wafat.

Bisa pula untuk memperingati hal-hal yang dinilai penting lainnya, bahkan untuk suatu peristiwa yang dianggap khusus. Di Yogyakarta, misalnya, pernah dikibarkan bendera setengah tiang pada 12 Desember 2010 di halaman rumah Wali Kota Yogyakarta saat itu, Herry Zudianto, saat terjadi polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan DIY dengan pemerintah pusat.

Herry Zudianto kala itu menegaskan bahwa pengibaran bendera Merah-Putih setengah tiang di rumahnya ia lakukan atas inisiatif sendiri dan bukan dalam statusnya sebagai wali kota, melainkan sebagai putra daerah Yogyakarta.

Setelah menaikkan bendera setengah tiang, sang wali kota yang mengenakan baju khas prajurit Keraton Yogyakarta membacakan puisi berjudul 'Jangan Lukai Merah Putih', demikian diberitakan Republika (13 Desember 2010).

Aksi ini mendapat reaksi dari Menteri Dalam Negeri RI waktu itu, Gamawan Fauzi. Mendagri juga melayangkan surat kepada Gubernur DIY sekaligus Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwana X, agar menegur Herry.

Pengibaran bendera setengah tiang di Indonesia juga dilakukan saat terjadi tragedi atau bencana berskala besar. Sebut saja tanggal 12 Oktober untuk memperingati peristiwa Bom Bali I tahun 2002, tanggal 26 Desember mengenang bencana tsunami dan gempa bumi di Aceh pada 2004, atau tragedi nasional lainnya.

Ada kalanya pengibaran bendera setengah tiang memuat kepentingan rezim yang berkuasa. Misalnya pada peringatan Gerakan 30 September 1965 kendati sebenarnya peristiwa berdarah ini masih menjadi misteri yang belum terungkap sepenuhnya hingga kini.***

Editor: Pipin L Hakim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x