POTENSI BISNIS - Bahasa Sunda berpeluang mendunia dengan dorongan derasnya globalisasi saat ini.
Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Nanzan University, Nagoya, Jepang, Prof. Dr. Mikihiro Moriyama saat menjadi pembicara pada Keurseus Budaya Sunda “Kabeungharan Basa Sunda”.
Acara yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjadjaran tersebut berlangsung secara virtual, Rabu 27 Oktober 2021 kemarin.
Baca Juga: Unpad Masuk 9 Perguruan Tinggi Terbaik Nasional dalam 'The Asia University Rankings 2021'
Mikihiro Moriyama menuturkan, globalisasi tak semuanya berdampak buruk pada budaya lokal, sebaliknya justru berpeluang memopulerkan bahasa Sunda ke kancah global.
Maka, menurutnya, kurang tepat adanya anggapan bahwa globalisasi akan menyempitkan eksistensi budaya lokal.
"Kalau kita di global, hanya menggunakan bahasa Inggris saja, tidak ada khasnya, jadi tidak menarik," ungkap Prof. Mikihiro dikutip dari laman resmi UNPAD, Kamis 28 Oktober 2021.
Akademisi Jepang yang fasih berbahasa Sunda ini menjelaskan, saat ini orang-orang cenderung mencari sesuatu yang khas di setiap budaya lokal.
Hal ini mendorong pemakaian bahasa menjadi lebih beragam di era globalisasi.
Selain bahasa Inggris yang digunakan untuk kemudahan akses informasi, ada arus balik yang muncul dari bahasa lokal.
Bahasa Sunda, bersama bahasa lokal lain di Indonesia punya kesempatan yang sama dengan bahasa asing lainnya untuk mendunia.
Maka dari itu, Mikihiro menilai, bahasa Sunda punya potensi yang tinggi untuk mendunia jika tetap ada upaya pengajaran.
"Ini kesempatan baik untuk bahasa Sunda, orang Sunda wajib percaya diri dan bangga menggunakan bahasa Sunda," ujarnya.
Identitas Orang Sunda
Berdasarkan hasil penelitiannya, ada keunikan yang ditemukan dari bahasa Sunda.
Bahasa Sunda tidak bisa dipisahkan dengan budayanya. Hal ini menjadi ciri khas dari orang Sunda dibandingkan dengan etnis lain di Indonesia.
Jika masyarakat Bali identik dengan adat istiadatnya, masyarakat lain identik dengan tradisinya, maka masayarakat Sunda sangat identik dengan bahasanya.
"Kalau orang Sunda hilang bahasanya, mungkin jati diri sebagai orang Sunda juga bisa hilang," kata Prof. Mikihiro.
Hal ini terlihat dari upaya pengajaran bahasa Sunda yang relatif lebih banyak.
Setidaknya ada 2.200 buku pengajaran bahasa Sunda yang dipublikasikan pada abad ke-20.
Penerbit besar Balai Pustaka pada medio 1920-an ke atas lebih banyak menerbitkan seri buku pengajaran bahasa Sunda ketimbang bahasa daerah lainnya di Indonesia.
Tidak hanya Balai Pustaka, buku pengajaran bahasa Sunda juga diterbitkan secara berseri oleh penerbit di Groningen, Belanda, dan Batavia, masih pada pertengaha 1920-an.
"Ini bukti bahwa orang Sunda nyaah ka bahasana. Buku-buku pengajaran bahasa Sunda tetap diterbitkan," tutup Mikihiro Moriyama.***