Refly Harun Bicara Common Enemy, Anies Baswedan hingga Ridwan Kamil di Pilpres 2024

19 Desember 2020, 14:05 WIB
Kolase: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. /Instagram@Anies dan Ridwan Kamil/


POTENSIBISNIS - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menolak ide dari magister ilmu pemerintahan Essex University Inggris, Muhammad Qodari yang mengkalkulias kembali majunya Joko Widodo atau Jokowi menjadi capres di 2024 bersama Parbowo Subinati jadi wakilnya.

Menilai hal itu, Refly Harun malah bicara the common enemy, sosok Anies Baswedan, Ridwan Kamil hingga perlawanan oposisi yang tetap ada.

Refly Harun menilai walaupun mereka berdua dipasangkan, tidak akan menyelesaikan masalah dan tetap memunculkan kelompok oposisi yang sama.

Baca Juga: Ini Permintaan 'Mengerikan' Petugas Partai PDIP yang Diarahkan untuk Massa Aksi 1812

"Menurut saya tidak menyelesaikan masalah juga kalau Jokowi berpasangan dengan Prabowo, karena akan muncul kelompok oposisi yang sama," tuturnya.

Meskipun saat ini pendukung setia Prabowo sudah meninggalkannya, Refly Harun menyampaikan akan tetap ada kelompok-kelompok kritis di luar pemerintahan.

"Tetap saja ada kelompok-kelompok di luar pemerintahan yang sekarang kritis terhadap pemerintahan yang ada dan merasa tidak puas dengan pemerintahan Presiden Jokowi. Karena sekarang Prabowo pun sudah dipersepsi sebagai bagian dari pemerintahan," ucapnya.

Refly Harun menegaskan dikotomi cebong dan kampret akan tetap ada, karena sekarang kampret memiliki presiden baru yaitu Anies Baswedan.

"Tadinya kita berpikir bahwa dengan menyerap Prabowo dalam pemerintahan, dikotomi itu sudah hilang, enggak! Bahkan sekarang rupanya ada penghulu kampret baru, and then his name is Anies Baswedan, kan seperti itu," tuturnya seperti dikutip dari kanal YouTube Refly UNCUT, Jumat, 18 Desember 2020.

Jadi orang sekarang, ucap Refly Harun, justru melihat Anies Baswedan sebagai penghulu kampret dan dia akan dibutuhkan, kenapa?

"Kan kadang-kadang orang punya alasan untuk menakut-nakuti pemerintahan yang ada mengenai bahaya radikalisme, bahaya ekstrem kanan misalnya," ucapnya.

Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki sosok yang bisa mewakilkan mereka untuk menghadapi pemerintahan.

"Karena itu harus ada yang namanya the common enemy, musuh bersama itu haruslah orang yang bisa mengancam, Anies Baswedan salah satu orang yang bisa mengancam konstelasi politik 2024," tuturnya.

"Kalau Ganjar kan dianggap satu kubu dengan Jokowi dan juga Prabowo, yaitu kubu kiri kan, kiri luar istilahnya. Sementara Anies Baswedan, Ridwan Kamil, itu bisa masuk ke dalam perkubuan yang kanan, atau tengah kanan," sambung Refly Harun.

Refly Harun tetap menyarankan presidential threshold dihilangkan agar kondisinya tidak seperti sekarang yang semua partai diborong oleh satu kekuasaan sehingga hanya menghasilkan satu Paslon di Pilpres.

"Jadi menurut saya, seharusnya yang perlu dihilangkan adalah presidential threshold, menghilangkan presidential threshold itu membuat pencalonan jauh lebih cair, sehingga sekat-sekat ideologi itu jauh lebih cair lagi," ucapnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari mengatakan, kemungkinan Joko Widodo ataua Jokowi maju jadi presiden untuk ketiga kalinya di 2024.

Tetapi, kali ini dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai Wakil Presidennya.

Sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia hingga pada momentum Pilpres 2019 terlahir istilah cebong dan kampret yang bertahan sampai saat ini.

"Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan, di mana terjadi pembelahan seperti halnya cebong dan kampret di Pilpres 2019," ujar sarjana psikologi UI tersebut.***

Editor: Awang Dody Kardeli

Tags

Terkini

Terpopuler