Dalilnya adalah kumetalkan nash Al-Baqarah: 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya,” (Wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan Qadha selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya.
Baca Juga: Sinopsis Love Story The Series Jumat 30 April 2021: Maudy Harus Memilih antara Ken atau Argadana
Dalil pendapat jumhur ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari Aisyah RA dia berkata, “Aku tidaklah mengqadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW,” (Beirut: Mu`assasah Ar-Risalah, 2002, halaman 122)
Adapun waktu qadha, yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah.
Jadi mengqadha puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah.
Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya.
Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa.
Dalilnya adalah hadits Aisyah RA di atas bahwa dia berkata, “Aku tidaklah mengqadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW,” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad, hadis sahih).
Terdapat hadist yang semakna dalam lafaz-lafaz lain sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.