Syariat Diwajibkannya Puasa Ramadhan, Simak Penjelasan Lengkapnya

- 13 April 2021, 17:01 WIB
Sejarah puasa ramadhan yang tertulis dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW akan diulas lengkap dalam artikel ini
Sejarah puasa ramadhan yang tertulis dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW akan diulas lengkap dalam artikel ini /PotensiBisnis.com/Hadyan

POTENSI BISNIS - Sejarah Puasa Ramadhan tertulis dalam Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW akan diulas lengkap dalam artikel ini.

Disebutkan ada dua tahapan puasa Ramadhan sebelum diwajibkan kepada umat Islam.

Imam At-Thobari dalam Jami’ Al-Bayan menuliskan bahwa Muadz bin Jabal ra berkata Ketika Rasulullah SAW datang ke Mekkah, puasa yang dilakukan oleh beliau adalah puasa Asyura dan puasa tiga hari pada setiap bulannya, hingga akhirnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan, dan Allah menurunkan ayat-Nya:

Baca Juga: Pemkot Bekasi akan Lakukan Operasi Gabungan Sebelum Kebijakan Larangan Mudik Diterapkan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaiman telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-Baqarah : 183).

Hingga ayat:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Pada awalnya siapa saja yang ingin berpuasa maka ia boleh berpuasa, dan siapa saja yang ingin berbuka maka dia boleh berbuka dan cukup menggantinya dengan memberi makan orang miskin.

Namun pada akhirnya Allah mewajibkan kepada seluruh umat yang sehat dan tidak dalam perjalanan untuk berpuasa, tidak ada pilihan untuk berbuka, dan untuk mereka yang sudah lanjut usia tetap diberikan keringanan boleh berbuka dengan syarat tetap memberikan makan fakir miskin, maka turunlah ayat:


فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib berkata: Bahwa (pada awalnya) para sahabat Rasulullah SAW ketika berpuasa tidak makan ketika ia tertidur sebelum berbuka hingga esoknya mereka lanjut berpuasa lagi tanpa makan.

Bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dimana siang harinya beliau habiskan untuk mengurus pohon kurma, ketika waktu berbuka sudah hampir tiba ia datang kepada istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan? Namun istrinya menjawab tidak ada, akan tetapi istrinya berusaha mencarikannya.

Ketika menunggu istrinya mencari makan tidak sengaja Qais ini tertidur, karena capek dari bekerja siang hari tadi. Mengetahui suaminya tertidur, maka istrinya berucap: “Celakalah engkau!”, esok harinya Qais tetap berpuasa walau tanpa berbuka, karena tidak boleh makan ketika bangun dari tidur.

Tapi di pertengahan hari berikutnya Qais malah pingsan.

Lalu cerita ini sampai kepada nabi, maka turunlah ayat:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu”.

Dari sana mereka semua bergembira, lalu turun kelengkapan ayat berikutnya:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.”

Dalam kesempatan lainnya, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim juga menjelaskan, sebenarnya proses pensyariatan puasa Ramadhan ini mempunyai kemiripan dengan proses pensyaraitan shalat, di mana keduanya melalui tiga tahapan pensyariatan.

Penjelasan ini didapat lewat riwayat Imam Ahmad melalui jalur Muadz bin Jabal, menceritakan: Bahwa pensyaritan shalat itu melui tiga tahapan dan pensyariatan puasa juga melalui tiga tahapan.

Adapun pensyaritan shalat, pada mulanya ketika nabi Muhammad SAW tiba di Madinah beliau shalat selama lebih kurang tujuh belas bulan menghadap arah Baitul Maqdis, hingga akhirnya Allah menurunkan ayat-Nya:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai” (QS. Al-Baqarah: 144)


Sehingga terjadi perubahan arab kiblat dengan menghadap ke arah Masjid Haram, dan ini dinilai sebagai tahapan pertama dalam pensyariatan shalat.


Muadz Melanjutkan, tatkala mereka berkumpul di masjid untuk shalat maka satu dengan yang lainnya saling memanggil untuk shalat, hampir-hampir diantara mereka ada yang membunyikan suara lonceng agar dengan mudah mengumpulkan jamaah untuk shalat.


Kemudian datanglah Abdullah bin Zaid, laki-laki dari kalangan Anshar kepada Rasulullah SAW sambil menceritakan apa yang dilihatnya dalam mimpi, bahwa dia melihat seorang laki-laki dengan memakai kain hijau berdiri menghadap kiblat dan meneriakkan: Allahu Akbar… Allahu Akbar… dst (lafazh adzan sekarang), lalu setelah selesai tidak berapa lama dari sana lak-laki tadi kembali melafalkan lafazh tersebut, hanya saja kali ini dia menambahkan lafazh; “قد قامت الصلاة “ (seperti lafazh Iqamah sekarang).


Lalu Rasulullah saw memerintahkan agar lafazh-lafazh itu diajarkan kepada Bilal untuk selanjutnya agar Bial bisa menyeru dengan lafazh itu untuk setiap shalat. Tidak lama setelah itu datang juga Umar bin Khattab yang juga menceritakan perihal mimpi yang sama tetang adzan dan iqamah. Dan cerita tentang adzan serta iqamah ini dinilai sebagai tahapan kedua dalam pensyariatan shalat.

Baca Juga: Lowongan Kerja PT Summarecon Agung Tbk, Simak Syarat dan Posisi pada Link Berikut

Muadz melanjutkan, bahwa tatkala shalat sudah berlangsung sebagian dari sahabat ketinggalan jamaah, maka sebagian sahabat berijtihad sendiri dengan mempercepat shalat hingga pada akhirnya bisa menyusul roakaat imam, dan pada akhirnya bisa salam bersama imam.

Namun berbeda dengan apa yang dilakuakan oleh Muadz, beliau tidak melakuakan seperti itu. Ketika datang Muadz langsung mengikuti gerak Imam hingga akhir, tatkala imam salam, Muadz berdiri kembali menyempurnakan rokaat yang tertinggal, atas perilaku Muazd ini akhirnya Rasulullah saw memerintahkan:

إِنَّهُ قَد سَنَّ لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا

“Sesungguhnya Muadz telah melakukan yang benar untuk kalian, maka perbuatlah seperti apa yang diperbuat Muadz”


Cerita perihal tatacara shalat masbuq (tertinggal) dari imam ini dinilai sebabagai tahapan ketiga dari pensyariatan sholat.

Baca Juga: Firli Bahuri Sebut Ada 1.552 Pelaku Korupsi Terkena OTT KPK

Sedangkan perihal perubahan tahapan dalam puasa juga terjadi hingga tiga kali.

Awalnya ketika tiba di Madinah, Rasulullah saw dan para sahabat berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dan beliau juga berpusa di hari Asyura, lalu kemudian turun syariat puasa Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 183), dan ini dinilai sebagai tahapan pertama.


Namun diawal-awal puasa Ramadhan ini masih sifatnya pilihan, siapa yang dengan sengaja tanpa alasan tidak mau berpuasa mereka boleh tidak berpuasa, asalkan menggantinya dengan fidyah, tapi ketika Allah menurunkan ayatNya:


فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berpuasa, walaupun Allah tetap memberikan keringan bagi mereka yang sakit, dalam perjalanan dan lanjut usia untuk tidak berpuasa dengan cara menggantinya, baik dengan cara puasa qadha atau dengan fidyah. Sampai di sini dinilai sebagai tahapan kedua dalam syariat puasa.***

Editor: Rahman Agussalim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah