"Ia meyakinkan ayahnya bahwa ia akan sabar dalam menghadapi keputusan Allah," ujar Syakir.
Syakir mengutip penelitian Daniel Goleman, seorang psikolog kontemporer, yang menyatakan bahwa keberhasilan pemimpin dunia dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang seimbang.
Menurutnya, hanya sekitar 6 hingga 20 persen keberhasilan pemimpin dunia yang dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, sedangkan sisanya banyak dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dan spiritual mereka.
Namun demikian, Syakir menilai bahwa saat ini tidak banyak orang tua yang mampu mendidik anak-anak mereka secara seimbang.
Baca Juga: Usai Syekhnya Dilaporkan ke Polisi, Wali Santri Ponpes Al Zaytun Laporkan Balik Ken Setiawan
"Kita tidak boleh menyalahkan anak-anak kita jika mereka hanya cerdas secara intelektual, tetapi justru kecerdasan dan kecerdikan mereka lebih banyak digunakan untuk mengelabui orang tua mereka, seperti menjadi pintar dalam korupsi, berbohong, atau tidak merasa bersalah ketika melakukan perbuatan maksiat dan kejahatan," ujar dosen dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Baginya, salah satu pelajaran penting dari kisah Nabi Ibrahim adalah mengajarkan umat Muslim untuk selalu membuka jalur komunikasi yang baik dengan anak-anak mereka.
"Meskipun Ibrahim sebagai seorang ayah memiliki kemampuan untuk memaksa perintah Allah kepada anaknya, terutama jika ia yakin bahwa perintah tersebut benar.
Namun, Ibrahim tetap memilih untuk berkomunikasi dengan anaknya, karena hal ini berkaitan dengan keselamatan nyawa sang anak," tambahnya.
Selain itu, Syakir menambahkan bahwa jika pemimpin diibaratkan sebagai orang tua, mereka juga perlu membuka jalur komunikasi yang baik dengan rakyatnya.