Hal itu membuat siapa pun yang berkunjung ke kaki Gunung Merapi menyadari lagi betapa manusia tidak berdaya menghadapi kekuatan alam yang maha dahsyat.
Pemandu wisata yang meminta turis berteriak, “Mbah Maridjan, roso!” menjadi bukti bahwa Gunung Merapi dan Mbah Maridjan telah menjadi identitas yang kini tak terpisahkan.
Wisatawan bisa menyimaknya dengan membeli paket wisata perjalanan menggunakan mobil kap terbuka. Sungguh, harga yang dibayarkan sepadan dengan pengalaman yang diberikannya, wisata yang bukan sekadar hura-hura tetapi penuh kontemplasi.
Berdasarkan riset dancatatan sejarah, letusan-letusan kecil Gunung Merapi terjadi setiap 2-3 tahun dan yang lebih besar terjadi sekira 10-15 tahun sekali.
Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat pada 1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930.
Sementara pada era Indonesia modern, tercatat terjadi letusan pada 22 November 1994 dan menewaskan 60 orang.
Pada 19 Juli 1998 terjadi letusan besar tetapi material vulkanik yang dikeluarkan mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa.
Pada 2001 sampai 2003, tercatat aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus tanpa disertai erupsi ledakan tetapi membentuk kubah lava.
Tiga tahun berselang sesuai prediksi, Gunung Merapi kembali aktif pada 2006 dengan terus-menerus meluncurkan awan panas yang memaksa warga mengungsi dan menewaskan dua orang di Kaliadem. Mereka diterjang awan panas meski sempat masuk bunker
Sementara rangkaian letusan pada Oktober dan November 2010 dicatat sebagai yang terbesar sejak 1872. Korban meninggal sedikitnya 273 orang.***