Siapa Berkuasa di Pemilu 2024, Rakyat atau Partai?

- 24 Mei 2021, 16:22 WIB
Pemilu 2024! 16 Partai Dinyatakan Gagal dan 3 Partai Tidak Mendaftarkan Diri
Pemilu 2024! 16 Partai Dinyatakan Gagal dan 3 Partai Tidak Mendaftarkan Diri /Antara/

 

POTENSI BISNIS - Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sarana perwujudan kehendak atau keinginan yang memiliki kedaulatan sepenuhnya dan dilaksanakan oleh rakyat secara langsung guna memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, serta kepala daerah, baik itu gubernur maupun bupati/wali kota, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber dan Jurdil) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pelaksanaan pemilu sejak tahun 1955 sampai 2019 sudah 12 kali di gelar di Indonesia. Kemudian sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka sejak tahun 2005 pemilihan kepala daerah (pilkada) juga digelar secara langsung, yakni dengan di pilih oleh masyarakat sampai saat ini.

Perjalanan pemilu yang sudah cukup panjang tersebut tentu menyisakan banyak kendala dan masalah hingga saat ini. Pemerintah dan terkhusus penyelenggara pemilu juga terus berbenah dalam menyiapkan dan melaksanakan pemilu yang benar-benar demokratis dan menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat.

Perwujudan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan yang demokratis merupakan sebuah keharusan. Menurut Asian Democrazy Network (ADN) demokrasi merupakan sebuah bentuk sistem pemerintahan di mana rakyat memilih pemimpin mereka, dan idealnya, rakyatlah yang memiliki kedaulatan tertinggi.

Kuasa oleh rakyat juga seringkali disebut sebagai “kedaulatan populer” dan dapat mengacu pada bentuk pemerintahan oleh rakyat secara langsung, partisipatoris, dan representatif.

Pemilu seyogyanya adalah format terbaik untuk melakukan proses pergantian kepemimpinan dan merupakan pilihan terbaik dalam pemerintahan yang demokratis agar rakyat benar-benar bisa melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh “wakil” yang sudah mereka pilih sendiri. Inilah yang menjadi dasar dan landasan bagi Negara ini memilih pemilu sebagai wadah untuk melaksanakan pemerintahan yang demokratis.

Perhelatan pemilu sering juga disebut sebagai pesta demokrasi atau pesta rakyat. Dalam perkembangannya, pemilu sudah tidak terasa seperti "pesta rakyat" lagi. Dewasa ini pemilu terlihat hanya sebatas pergantian kekuasaan. Dengan kata lain, pemilu hanyalah prosedur pemilihan kelompok elite yang akan menguasai seluruh aspek di Negara ini. Pemilu tidak dimaknai sebagai kedaulatan rakyat yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Bahkan dalam beberapa pemilu belakangan, kita bisa melihat proses pemilu tidak berjalan semestinya, banyak hal-hal menyimpang terjadi, seperti politik identitas, politik uang, kampanye hitam yang kesemuanya itu akan menciderai nilai demokrasi. Ini merupakan tidakan dari elite-elite yang melihat potret pemilu hanya sebatas proses perebutan kekuasaan, sehingga melakukan cara-cara yang tidak terpuji. Padahal sistem demokrasi adalah otoritas pemerintahan yang sah yang dibentuk dari lembaga yang berisi warga Negara, terlepas dari gender, ras, agama, bangsa, etnis, identitas sosial, politik atau opini apapun.

Proses pemilu sekarang ini tidak lebih masih berkutat pada pemilu yang prosedural yang masih jauh dari kata substansial. Pemilu hanya memanjakan para elite politik, sehingga rakyat belum merasakan dampak dari pemilu secara signifikan, terutama terhadap kesejahteraan dan kemakmurannya.


Pasca reformasi, pemilu yang merupakan perwujudan demokrasi bukan bertambah baik, tak mengherankan kemudian banyak orang marah pada demokrasi yang sedang berlangsung. Pemilu hampir dilaksanakan hanya sebatas rutinitas demokrasi belaka. Faktanya, pemilu diselenggarakan bukannya semakin meningkatkan kualitas demokrasi, tetapi justru semakin memilukan, dimana pemilu diramaikan oleh perilaku-perilaku yang menciderai nilai-nilai demokrasi.

Sebagai contoh, pemilu dalam memilih anggota dewan perwakilan rakyat saat ini sungguh sangat menyedihkan, dimana suara-suara yang diperoleh setiap calon melalui pertai politik hanya di anggap sebagai angka-angka saja demi mengkonversikannya menjadi kursi. Sederhananya, suara-suara itu hanya di anggap sebagai hasil coblosan yang kemudian menjadi kursi kekuasaan. Kemudian, proses pemilihan kepala daerah juga belum sesuai amanah Undang-Undang.

Penyelenggaran Pilkada saat ini menjadi arena rivalitas kekuasaan lokal yang tidak sehat, sehingga melahirkan pemimpin yang tidak bertanggung jawab yang pada akhirnya hanya memelihara tahta guna memiliki kekuasaan yang pada akhirnya digunakan untuk melindungi aset dan mengekalkan oligarki kekuasaan.

Gambaran wajah kesejahteraan masih suram terlihat ketika kita melihat fenomena-fenomena di atas masih tersaji dan langgeng dalam setiap pemilu kita. Padahal ikhtiar untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab dari siapapun yang terpilih dalam pemilu sebagai pemimpin di negeri ini.

Dukungan publik yang diperoleh adalah cerminan amanat hati nurani rakyat yang ingin merasakan manfaat bernegara. Partai politik sebagai peserta pemilu sekaligus pilar demokrasi juga sejatinya memiliki peranan yang sangat vital menghadirkan negara kesejahteraan (welfare state). Partai politik jangan hanya dijadikan kendaraan rental saja oleh politisi yang tidak punya niatan mulia ketika terpilih. Partai politik harus punya laboratorium kaderisasi untuk menyiapkan calon pemimpin yang berintegritas dan kompeten. Mempunyai moral negarawan dan komitmen yang kuat sebagai pelayan rakyat.

Demokrasi yang di jalankan saat ini masih berkutat pada persoalan tidak mulia tersebut, padahal di Amerika Latin, demokrasi lebih dari itu. Demokrasi itu terutama menyangkut aspek sosial dan ekonomi. Yang penting buat eksistensi demokrasi adalah pembagian kekayaan di satu negara secara adil, sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial secara drastis.

Dari berbagai persoalan di atas, kita bisa belajar dan memulai memberikan dorongan untuk menata pemilihan umum yang hasilnya bisa mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bagi para politisi, mari mulai berfikir bagaimana lebih menghargai perolehan suara-suara tersebut bukan hanya sekadar angka-angka saja yang bisa dikonversi dan mengasilkan kursi, tapi lebih kepada upaya untuk mewujudkan harapan yang sudah dititipkan kepada para wakil yang terpilih.

Orang-orang yang kini menjadi pengurus partai politik juga harus berbenah, karena partai politik memiliki tujuan yang mulia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008. Jangan lagi partai politik tak ubahnya sebagai “terminal” bagi para politisi, sebagai tempat persinggahan saja dan akan berlanjut berjalan tanpa meninggalkan sesuatu yang baik.

Budaya politik dan manajemen partai politik yang sehat adalah hulu mata air yang akan memberikan kejernihan dan mengasilkan pemilu yang baik. Doktrin politik uantuk mnghasilkan kekuasaan dengan segala cara harus dikikis dan dilawan dengan semangat baru yang memaknai politik sebagai sarana pengabdian demi kemaslahatan.

Kaderisasi partai politik menjadi pijakan awal melahirkan politisi yang ingat rakyat ketika terpilih dan melahirkan tunas-tunas pemimpin yang juga anti korupsi. Ketika ini berjalan, maka demokrasi itu akan menjadi substansial dan pemilihan umum akan sepenuhnya menjadi pesta demokrasi masyarakat sebagai perwujudan demokrasi untuk menuju kesejahteraan.

Penulis: Rizki Laelani, S.Sos

Pemerhati Kepemiluan Nasional

Editor: Pipin L Hakim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah