Revisi UU MK Diam-diam, Mengancam Independensi Mahkamah Konstitusi?

18 Mei 2024, 08:17 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK). /Antara/Hafidz Mubarak A/

POTENSI BISNIS - Perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) seringkali dilakukan sebagai reaksi terhadap peristiwa tertentu.

Dalam satu dekade terakhir saja, UU MK telah diubah hampir empat kali. Namun, perubahan-perubahan ini tidaklah substansial dan hanya berfokus pada masa jabatan dan persyaratan usia hakim MK.

“Padahal, masih banyak hal krusial lain yang bisa dan seharusnya diubah dengan lebih signifikan,” kata Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Dr. I Dewa Gede Palguna dalam diskusi publik bertajuk “Sembunyi-Sembunyi Revisi UU MK Lagi” pada Kamis, 16 Mei 2024.

Baca Juga: Ghani Sumringah Dicintai Seutuhnya oleh Anggun, tapi Kebahagiaan Mereka Hanya Sesaat, Cinta Tanpa Karena

Palguna menekankan pentingnya penambahan aturan yang melindungi hak warga negara dalam UU MK. Ia mencontohkan situasi di mana seorang warga negara mengajukan gugatan ke pengadilan tetapi kemudian menemukan bahwa norma tertentu merugikannya.

“Dalam kasus seperti itu, MK harus menentukan apakah norma tersebut merugikan atau tidak. Jika ya, maka perkara tidak perlu dilanjutkan,” ujarnya sebagaimana dilaporkan oleh kontributor Pikiran Rakyat, Dewiyatini.

Namun, perubahan yang dilakukan justru menjauh dari isu-isu krusial, dan malah memancing ketegangan antara supremasi konstitusi dan hukum.

Mantan Ketua MK periode 2013-2015, Hamdan Zoelva, menyatakan bahwa tiga kali perubahan UU MK hanya membahas masa jabatan dan pengawasan hakim.

Perubahan keempat pun masih berkutat di area yang sama. Menurutnya, pembahasan mengenai perubahan hukum acara di MK tidak pernah diselesaikan.

Baca Juga: 7 Tanda Seseorang Hanya Penasaran dan Tidak Benar-Benar Menyukai Kamu, Jangan Terkecoh

“Perubahan yang ada selalu berkaitan dengan rekrutmen, masa jabatan hakim, usia hakim, dan pengawasan yang serius mengancam negara hukum,” katanya.

Zoelva menduga ada niat di balik perubahan ini untuk melemahkan atau setidaknya mengganggu independensi MK.

Ia mengingatkan bahwa Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah melakukan hal serupa untuk melemahkan MK, misalnya dengan mengubah periodisasi atau menghambat kuorum.

Zoelva berharap agar tidak ada lagi upaya mengganggu independensi MK, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurutnya, MK harus terus diperkuat untuk menjaga dan melindungi konstitusi serta sistem politik di Indonesia. Ia juga berharap ada kesadaran dari para pembuat UU bahwa perubahan yang mereka lakukan bisa berbahaya.

Baca Juga: TRAILER Cinta Tanpa Karena 17 Mei 2024: So Sweet! Ghani Perlakukan Anggun seperti Ratu Saat Sedang Sakit

“Saya tidak yakin perubahan ini akan ditolak dalam paripurna meskipun disetujui saat reses. Tetapi, mungkin saja ada kesadaran baru untuk tidak menyetujui UU ini,” ujarnya.

Sementara itu, Hakim MK periode 2014-2024, Wahiduddin Adams, menyatakan bahwa MK akan terus berhadapan dengan konstitusi.

Menurutnya, perubahan yang berulang-ulang tidak akan membawa perubahan signifikan. “Siapkan UU pengganti UU MK, bukan malah diubah terus,” katanya.

Ia menambahkan bahwa jika perubahan ini dibiarkan, akan ada perubahan kelima, keenam, dan seterusnya, yang tidak membawa penguatan apapun.

Wahiduddin menyarankan agar presiden mengusulkan penyusunan UU pengganti UU MK yang lebih lengkap dan melibatkan publik secara komprehensif dalam prosesnya.

“MK harus diperkuat dan siap menghadapi berbagai ancaman yang mungkin muncul,” tutupnya.***

Editor: Mutia Tresna Syabania

Tags

Terkini

Terpopuler