Industri Rokok akan di Matikan? Guru Besar : Harus Disiapkan Lapangan Pekerjaan Pengganti

4 Agustus 2020, 11:32 WIB
Ilustrasi: cukai rokok/ /bolehmerokok.com

POTENSI BISNIS - Pemerintah saat ini tidak mungkin mematikan industri rokok nasional. Hal ini dikatakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya Prof. Dr. Candra Fajri Ananda.

Sebab, menurutnya, terdapat jutaan tenaga kerja hidup dan bekerja disektor itu.

"Kalau dipaksa untuk mematikan industri rokok nasional, maka pemerintah harus siap menyediakan lapangan kerja bagi petani tembakau dan buruh rokok. Dalam kondisi resesi ekonomi seperti saat ini, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk menyediakan lapangan kerja sebagai pengganti industri rokok," kata Candra memberikan keterangan di Jakarta, pada Selasa 4 Agustus 2020.

Hal itu, menanggapi rencana pemerintah yang akan mengeluarkan simplifikasi penarikan cukai pada 2021. Salah satu turunan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77.02/2020 yang akan melakukan simplifikasi dan kenaika cukai di tahun 2021.

Sebagaimana dilansir Potensi-Bisnis.com dari Pikiran-Rakyat.com sebelumnya, "Jika Industri Rokok Dimatikan, Guru Besar: Pemerintah Harus Siapkan Jutaan Lapangan Kerja Pengganti", Menurut Candra, jika pemerintah belum dapat menyediakan lapangan pekerjaa pengganti bagi jutaan tenaga kerja insdustri rokok.

Tambahnya, pasti akan mendapatkan protes bertubi-tubi dari jutaan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya. Jika pemerintah sudah mematikan industri hasil tembakau. Karena itu, RPJMN yang meniadakan industri hasil tembakau tidak mungkin dapat dilaksanakan.

Memangnya sudah ada industri pengganti yang dapat menyerap jutaan tenaga kerja industri rokok, juga memberikan pemasukan ratusan triliunan rupiah bagi negara?

Jika belum ada, jangan mematikan industri hasil tembakau nasional. Industri hasil tembakau nasional yang bernilai strategis harus dilindungi.

"Jika simplifikasi cukai dapat mematikan industri rokok nasional, dan jika dengan cara yang lama, target penerimaan negara dari cukai rokok tetap terpenuhi, menurut saya pemerintah sebaiknya tidak perlu melakukan simplifikasi atau penyederhanaan penarikan cukai dari 10 tier menjadi 3 tier. Tetap pakai yang selama ini sudah berjalan dengan baik," ujar Candra.

Candra pun meyakini bahwa Presiden Jokowi memiliki kepedulian, dan perhatian terhadap keberlangsungan serta keberadaan insdutri hasil tembakau nasional.

Sementara itu, pengurus Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Sahmihudin mengatakan, rencana penerapan Simplifikasi Penarikan Cukai tahun 2021 mendatang, dianggap merugikan pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.

Kebijakan tersebut, selain akan mengurangi pendapatan negara dari cukai rokok itu sendiri, konsumsi rokok ilegal dan murah di kalangan masyarakat justru akan meningkat.

Sementara, perusahaan rokok skala kecil dan menengah diprediksikan akan berguguran. Jutaan petani tembakau dan buruh industri rokok akan kehilangan pekerjaan.

"Jalan yang terbaik, pemerintah tetap mempertahankan tata cara penarikan cukai yang selama ini sudah berlangsung dan memenuhi target," kata Sahmihudin..

Berdasarkan analisisnya, rencana simplifikasi penarikan cukai hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar asing. Namun merugikan perusahaan rokok yang lainnya, khususnya perusahaan rokok menengah dan kecil. Saat ini terdapat sekitar 500 perusahaan rokok baik kecil besar maupun menengah.

Jika simplifikasi diterapkan, kemungkinan besar akan mematikah pabrik rokok kecil dan menengah. Hanya menyisakan sekitar 3 perusahaan rokok besar. Salah satunya adalah perusahaan rokok besar dari Amerika.

“Jika perusahaan atau pabrikan rokok hanya tersisa sekitar 3 atau 4 perusahaan, jelas akan mengurangi pembelian tembakau dari para petani kita. Kami sebagai petani jelas dirugikan. Sebaliknya, pemerintah juga dirugikan karena cukai dan pajak pajak lainnya yang ditarik dari perusahaan rokok akan semakin berkurang. Otomatis, pendapatan pemerintah dari cukai rokok akan berkurang drastis jika simplifikasi dilakukan. Yang untung hanya satu perusahaan rokok asing, yang menginginkan diterapkannya simplifikasi penarikan cukai rokok."Karena itu kami meminta pemerintah khususnya Menteri keuangan berhati hati dalam menerapkan sebuah kebijakan,” tegasnya.

Dari pengalaman, kata Sahmihudin, gara-gara kenaikan cukai rokok sangat tinggi tahun 2019 lalu, tembakau petani banyak yang tidak terserap oleh industri rokok.

Kondisi yang mengkhawatirkan akan terjadi apabila pemerintah menerapkan simplifikasi penarikan cukai rokok tahun 2021 yang menyebabkan banyak pabrik rokok berguguran.

Lebih lanjut, Ketua APTI Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menjelaskan, yang disasar dari rencana penerapan simplifikasi adalah mematikan rokok kretek. Padahal rokok kretek yang ada di Indonesia adalah warisan dan tradisi budaya nasional.

Hanya ada di Indonesia. Rokok kretek akan dihilangkan dan digantikan oleh rokok putih produksi satu perusahaan rokok asing yang ngotot ingin kebijakan simplifikasi diterapkan.

“Jika simplifikasi diterapkan, pabrik rokok kelas menengah dan kecil yang selama ini memproduksi rokok kretek akan mati, karena harus membayar cukai yang jauh lebih mahal dari yang biasa dia bayar selama ini," ujarnya

"Rokok kretek yang menjadi warisan tradisi budaya nasional akan hilang, digantikan rokok putih dan rokok elektrik. Yang rugi adalah petani tembakau nasional, buruh industri rokok dan juga pemerintah, karena akan kehilangan sumber pendapatan dari pajak dan cukai rokok,” lanjut Sahmihudin.

Sahmihudin mengatakan, bergugurannya perusahaan atau pabrik rokok menengah dan kecil, ditambah lagi oleh kenaikan cukai rokok setiap tahun, membuat harga rokok menjadi sangat mahal.

Harganya ditentukan oleh perusahaan rokok besar yang masih eksis. Jika harga rokok mahal hal ini berakibat masyarakat akan beralih ke rokok murah.

“Jangan berharap pemerintah akan mendapatkan pendapatan yang banyak dari cukai rokok yang sudah disimplifikasi. Justru dengan simplifikasi, apabila pabrik pabrik rokok pada tutup, hanya tersisa tiga. Sementara masyarakat beralih ke rokok ilegal atau rokok murah. Pendapatan pemerintah dari cukai rokok akan berkurang drastis. Pemerintah jelas rugi,” papar Sahmihudin.

Lebih lanjut, Sahmihudin memaparkan, jika pemerintah menaikan cukai rokok dan memberlakukan simplifikasi dengan alasan melindungi kesehatan masyarakat. Alasan tersebut tidak tepat.

Kebiasan merokok masyarakat tidak bisa dihentikan oleh mahalnya harga rokok. Kenaikan cukai rokok tahun 2019 telah menyebabkan harga rokok sangat tinggi.

Masyarakat di beberapa provinsi seperti Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, beralih ke rokok produksi rumahan, yang harga per bungkusnya hanya Rp3.000 hingga Rp5.000 isi 16 batang. Kondisi ini menjadi salah satu sebab munculnya perokok perokok pemula di kalangan remaja.

“Jangan beralasan melakukan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok untuk melindungi kesehatan masyarakat. Masih banyak makanan dan minuman yang merusak kesehatan masyarakat, itu juga harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah," tegasnya

Sebaliknya, kata dia, rokok elektrik yang lebih membahayakan kesehatan para perokoknya, harus mendapat perhatian pemerintah. Rokok elektrik itu lebih berbahaya dari rokok konvensional. Sebab selain berbahaya bagi kesehatan masyarakat, juga akan mematikan industri rokok kretek nasional, rokok khas Indonesia.

"Merugikan petani tembakau nasional juga buruh industri rokok yang jumlahnya jutaan orang. Rokok elektronik menggunakan sedikit tembakau namun lebih berbahaya dari rokok biasa,” papar Sahmihudin.

Menurutnya, jika rencana kenaikan dan penerapan simplifikasi penarikan cukai rokok yang akan diterapkan tahun 2021 merupakan bagian dari RPJMN bertujuan mematikan industri rokok nasional, maka RPJMN tersebut harus dicabut. Diiganti dengan RPJMN yang melindungi industri rokok nasional.

“Aneh jika rencana pembangunan menengah nasional justru mematikan industri rokok nasional. Mematikan industri rokok kretek yang merupakan rokok khas Indonesia. Dan justru menguntungkan satu perusahaan besar asing. RPJMN yang menguntungkan satu perusahaan rokok asing tersebut harus diganti oleh RPJM yang justru melindungi industri rokok nasional,” tandas Sahmihudin.***

Editor: Pipin L Hakim

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler