Peneliti Impor Pangan Komentari Kebijakan Pemerintah, Felippa: Kebijakan Proteksionis Bukan Solusi

- 20 Desember 2020, 14:20 WIB
Ilustrasi Impor Pangan, Peneliti Impor Pangan Komentari Kebijakan Pemerintah, Felippa: Kebijakan Proteksionis Bukan Solusi.*
Ilustrasi Impor Pangan, Peneliti Impor Pangan Komentari Kebijakan Pemerintah, Felippa: Kebijakan Proteksionis Bukan Solusi.* /Pixabay/PublicDomainPictures

POTENSIBISNIS – Impor pangan di Indonesia menjadi sebuah kebutuhan di setiap daerah.

Hal ini berkenaan dengan kebijakan pemerintah yang membuat beberapa daerah merasa sulit untuk melakukan impor pangan.

Terdapat empat dimensi ketahanan pangan berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), yaitu ketersediaan, akses, penggunaan dan stabilitas. Konsep ini juga digunakan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Baca Juga: Ikatan Cinta Malam Ini: Sinopsis dan Live Streaming RCTI, Andin Menangis Ada Apa?

Kepala Pusat Penelitian Center for Indonesian Property Studies Felippa Amanta, seperti dikutip PotensiBisnis.com dari Antaranews.com mengatakan, hal ini perlu dilihat secara lebih konstruktif.

Karena pada saat ini sejumlah kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan dinilai tidak efisien dan menghabiskan banyak anggaran

"Sudah saatnya impor dipandang dengan pendekatan yang lebih konstruktif, yaitu sebagai amunisi untuk menstabilkan harga di pasar karena produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan," kata dia.

Baca Juga: Julukan Artis 'Tukang Kawin' Kian Melekat, Kiwil: dari Pada Lu Tukang Boong

"Bahkan di beberapa komoditas, hasil produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga perlu dilakukan impor. Di saat yang bersamaan, pemerintah perlu fokus memperbaiki kinerja sektor pertanian domestik, melakukan modernisasi, membuka investasi dan meningkatkan kapasitas petani," sambungnya.

Terdapat beberapa hal yang dinilai Felippa, berpotensi mempersulit akses masyarakat kepada produk pangan.

Menurtnya, yakni dengan harga lebih terjangkau oleh sejumlah kebijakan mengendalikan impor seperti hambatan nontarif, sistem kuota, dan pembatasan investasi.

Baca Juga: Ini 5 Makanan Sehat yang Harus Ada di Kulkas Menurut Pakar

Menurut Felippa ketahanan pangan bukan hanya sebatas soal ketersediaan, namun juga soal kualitas dan keterjangkauan harga.

Felippa juga mengatakan, kebijakan proteksionis bukanlah jawabannya, tetapi pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan inovasi.

Selain itu, meningkatkan produktivitas pertanian yang bisa mendorong petani Indonesia semakin kuat dan kompetitif.

Mengingat pentingnya memperhatikan distribusi pangan, contohnya proses distribusi daging sapi yang dinilai memakan biaya cukup tinggi sehingga konsumen akhir yang menanggung biayanya.

"Tingkat ketahanan pangan kita dinilai masih rendah meskipun Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir," ujarnya.

"Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (Indeks Ketahanan Pangan Global) 2019 dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di posisi 62 dari 113 negara. Jika diselidiki lebih dalam pada tiap indikator, Indonesia berada di posisi 48 untuk indikator ketersediaan, namun berada di posisi 58 untuk indikator keterjangkauan," kata dia.

Felippa juga berpandangan bahwa isu keterjangkauan harga pangan masih sering luput dari perhatian saat kita membicarakan soal pangan.

Apalagi, ujar dia, berdasarkan data dari Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian 2019, pengeluaran untuk bahan makanan terus meningkat sebesar 10 persen sejak 2016 hingga 2018.

"Hal ini dapat distribusikan ke dua faktor, yaitu peningkatan konsumsi masyarakat dan peningkatan harga," jelasnya.

Tingginya harga pangan Indonesia sangat merugikan masyarakat, kata Felippa, terutama bagi masyarakat miskin karena mereka bisa menghabiskan sekitar 50 hingga 70 persen dari pengeluarannya hanya untuk membeli makanan.

Besarnya proporsi pengeluaran untuk makanan membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditas pangan sehingga memengaruhi pola konsumsi.

"Dapat dimengerti kalau isu impor ini sangat sensitif, terutama karena menyangkut nasib para petani Indonesia. Tapi kenyataannya, kebijakan proteksionis perdagangan pangan Indonesia malah gagal memberi proteksi, justru merugikan petani kita," ujarnya.

"Petani Indonesia merupakan net consumer yang berarti mereka lebih banyak membeli daripada memproduksi pangan. Artinya, kerugian petani dari mahalnya harga pangan lebih besar dari keuntungan yang mereka dapatkan dari perlindungan sektor pertanian Indonesia," sambungnya.***

Editor: Pipin L Hakim

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah