AS akan Daratkan Pesawat P-8 Poseidon Pembawa Rudal di Indonesia, Ini yang Terjadi di 'Dapur' Istana

- 21 Oktober 2020, 11:15 WIB
Tak banyak diketahui orang, belum lama ini ada upaya mendaratkan pesawat pengawas maritim P-8 Poseidon (pesawat mata-mata) di Indonesia.
Tak banyak diketahui orang, belum lama ini ada upaya mendaratkan pesawat pengawas maritim P-8 Poseidon (pesawat mata-mata) di Indonesia. /defense-studies/

POTENSIBISNIS - Tak banyak diketahui orang, belum lama ini ada upaya mendaratkan pesawat pengawas maritim P-8 Poseidon (pesawat mata-mata) di Indonesia.

Pesawat pengawas maritim P-8 Poseidon milik Amerika Serikat itu, selama ini mengudara di atas Laut Cina Selatan.

Ada 4 pejabat senior di Indonesia mengetahui jika negara melakukan penolakkan atas upaya pendaratan pesawat mata-mata milik AS tersebut.

Dikutip dari artikel "Jokowi Benar-Benar Berani Tolak Pesawat Pengintai Maritim P-8 Milik Amerika Mendarat di Indonesia", menjelaskan pesawat pengintai maritim P-8 Poseidon rencananya mendarat untuk mengisi bahan bakar pesawat tersebut di Indonesia.

Hal ini diungkap empat pejabat senior pemerintahan yang tak disebut namanya.

AS baru-baru ini menggunakan pangkalan militer di Singapura, Filipina dan Malaysia untuk mengoperasikan P-8 di atas Laut China Selatan.

P-8 dengan radar canggih, kamera definisi tinggi dan sensor akustik telah memetakan pulau, permukaan dan alam bawah laut di Laut China Selatan setidaknya selama enam tahun.

Kementerian Pertahanan Indonesia, Kantor Pers Departemen Luar Negeri AS dan Kedutaan Besar AS di Jakarta tidak menanggapi permintaannya.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi menolak berkomentar mengenai hal ini.

Proposisi tersebut muncul ketika AS dan China meningkatkan persaingan mereka yang ingin mendapat pengaruh di Asia Tenggara.

Hal itu mengejutkan pemerintah Indonesia, karena Indonesia memiliki kebijakan netralitas luar negeri yang sudah lama ada. Negara itu tidak pernah mengizinkan militer asing beroperasi di sana.

P-8 memiliki peran utama dalam mengawasi aktivitas militer China di Laut China Selatan yang sebagian besar diklaim oleh Beijing sebagai wilayah kedaulatan.

Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei juga memiliki klaim atas perairan kaya sumber daya tersebut, dengan jalur perdagangan yang dilalui senilai $ 3 triliun setiap tahun.

Secara strategis, Indonesia tidak memiliki klaim resmi pada wilayah perairan tersebut, tetapi menganggap sebagian Laut Cina Selatan sebagai miliknya.

Indonesia secara teratur telah mengusir kapal penjaga pantai dan kapal nelayan China di daerah tersebut.

“Negara kita memiliki hubungan ekonomi dan investasi yang berkembang dengan China. Kami tidak ingin terlibat konflik dan khawatir jika terjadi peningkatan ketegangan antara kedua negara adidaya tersebut, dan oleh militerisasi Laut China Selatan,” ujar Retno Marsudi, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-bogor.com dari Reuters, Selasa, 20 Oktober 2020.

“Kami tidak ingin terjebak oleh persaingan ini,” tambahnya.

Terlepas dari kedekatan strategis antara AS dan negara-negara Asia Tenggara dalam memenuhi ambisi teritorial China, mantan duta besar Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal, mengatakan "kebijakan anti-China yang sangat agresif" dari AS telah membuat Indonesia dan kawasan itu ketakutan.

"Itu terlihat tidak pada tempatnya, kami tidak ingin tertipu menjadi kampanye anti-China. Tentu saja kami mempertahankan kemerdekaan kami, sebab ada kerjasama ekonomi yang kuat dan China sekarang menjadi negara paling berpengaruh bagi Indonesia, ” ujar Dino.

Analis Asia Tenggara dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional yang berbasis di Washington D.C., Greg Poling mengatakan, mencoba memperoleh izin pendaratan untuk pesawat pengintai adalah contoh tindakan yang ceroboh.

"Itu adalah indikasi betapa sedikit orang di pemerintah AS yang memahami Indonesia. Ada batasan yang jelas untuk dilakukan,” kata Greg.

Greg menyebut, AS baru-baru ini menggunakan pangkalan militer di Singapura, Filipina, dan Malaysia untuk mengoperasikan penerbangan P-8 di Laut Cina Selatan.

Sementara itu, tahun ini China telah meningkatkan pelatihan militernya, dan AS telah meningkatkan tempo operasi navigasi, pengembangan kapal selam, dan pengawasan penerbangan.

P-8, dengan radar canggih, kamera definisi tinggi, dan sensor akustik, telah memetakan pulau, permukaan, dan alam bawah laut di Laut China Selatan setidaknya selama enam tahun.

Saat membawa sonobuoy dan rudal, pesawat dapat mendeteksi dan menyerang kapal dan kapal selam dari jarak jauh. Ia juga memiliki sistem komunikasi yang memungkinkan untuk mengendalikan pesawat tanpa awak tersebut.

Sebelumnya pada 2014, AS telah menyerang jet tempur China yang datang dalam jarak 20 kaki dan mengeksekusinya melalui P-8 yang berpatroli di Laut China Selatan.***PR Bogor/Nurul Fitriana

Editor: Awang Dody Kardeli

Sumber: PR Bogor


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah