RAMALAN JAYABAYA! Membaca Isyarat Jawa Terbelah dan Turunya Wedhus Gembel dari Gunung Merapi

16 Desember 2021, 18:09 WIB
Kondisi di Kali Adem di bawah kaki Gunung Merapi pada November 2021./potensibisnis.com. /

POTENSI BISNIS - Dalam berbagai kepercayaan, ada satu kalangan masyarakat Jawa yang masih menggunkan Ramalam Jayabaya untuk melihat masa depan.

Ramalan Jayabaya ini bisanya dijadikan satu rujukan dalam mempelajari fenomena alam atau kejadian lain yang akan terjadi.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, Ramalan Jayabaya dikatikan dengan meletusnya Gunung Semeru.

Baca Juga: Ramalan Jayabaya: Ini Isi Lengkap Gambarkan Jawa Terbelah Saat Gunung Slamet Meletus

Akan tetapi, aktivitas Semeru di Jawa Timur ini kabarnya berdampak pada Gunung Merapi di Yogyakarta.

Kini aktivitas Gunung Merapi dalam pantauan lantaran beberapa kali terlihat menurunkan awan panas atau wedhus gembel.

Berikut adalah catatan yang dikutip dari pikiran-rakyat.com tentang kondisi kekinian di bawah kaki Gunung Merapi.

Baca Juga: Tes Psikologi: Cara Anda Berjabat Tangan Ini, Bisa Ungkap Tentang Kepribadian Seorang Pebisnis

Sepanjang sejarah modern Indonesia, Gunung Merapi beberapa kali meletus dan memakan korban jiwa.

Namun sepertinya letusan pada 2010 menjadi peristiwa yang palling banyak mengubah wajah kaki Gunung Merapi dan perikehidupan masyarakatnya.

Penduduk lokal, selain menjadi penambang pasir dan petani, kini banyak terlibat dalam aktivitas pariwisata.

Baca Juga: TES PSIKOLOGI: Warna Lilin Natal Mana Paling Favorit, Cerminkan Aspek Penting Karekter Diri Anda

Dampak letusan pada 2010 direspons dengan didirikannya museum berisi sisa-sisa barang warga yang rusak diterjang material letusan.

Terdapat pula area di kaki gunung yang didesain menjadi pasar swafoto dan menarik minat wisatawan.

Tak ketinggalan, warung-warung kopi bermunculan di sekitarnya mengikuti tren yang juga terjadi di daerah lain di Indonesia.

Baca Juga: GRATIS! Live Streaming Ikatan Cinta Malam Ini: Elsa Merana, Nino Impikan Hal Terlarang, Katrin Pasrah

Akan tetapi, salah satu daya tarik utama wisata Gunung Merapi usai letusan pada 2010 adalah sekelumit kisah tentang Mbah Maridjan.

Di kaki Gunung Merapi, banyak cerita tentang Mbah Maridjan dan momen-momen terakhirnya mejadi kuncen yang mengemban tanggung jawab sampai penghabisan.

Seperti karakteristik folklore pada umumnya, beberapa peristiwanya lalu dimitoskan dan terbukti memperkuat kearifan lokal.

Baca Juga: Konsisten Terapkan Good Corporate Governance, BRI Sabet Penghargaan Most Trusted Company 2021

Bangkai mobil yang menjadi saksi ganasnya letusan Gunung Merapi pada 2010 dipajang di museum barang-barang rusak akibat letusan di kawasan Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.

Bangkai mobil yang menjadi saksi ganasnya letusan Gunung Merapi pada 2010 dipajang di museum barang-barang rusak akibat letusan di kawasan Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.

Kalimat penuh makna yang diutarakan Mbah Maridjan tertulis dalam spanduk di lokasi yang sebelumnya adalah kediamannya di Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.

Kalimat penuh makna yang diutarakan Mbah Maridjan tertulis dalam spanduk di lokasi yang sebelumnya adalah kediamannya di Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.

Bagian dalam bunker untuk tempat berlindung darurat dari letusan Gunung Merapi di Kaliadem, Sleman, Yogyakarta.

Sosok Mbah Maridjan sudah tiada bersamaan dengan letusan itu tetapi namanya ternyata mendatangkan banyak berkah bagi penduduk setempat.

Pesan dia yang berjuta makna, "Ajining manungso iku gumantung ono ing tanggung jawabe marang kewajibane (Kehormatan seseorang dinilai dari tanggung jawab terhadap kewajibannya)," terpampang di gerbang petilasannya.

Sesuai perkataannya, Mbah Maridjan menunaikan tanggung jawabnya menjadi kuncen Gunung Merapi.

Dia ditemukan tewas di seorang diri di kamarnya saat oleh petugas yang melakukan evakuasi pada 2010.

Kematiannya yang dramatis dikemas dalam cerita yang semakin penuh pesan untuk direnungkan ketika dituturkan pemandu wisata.

Hal itu membuat siapa pun yang berkunjung ke kaki Gunung Merapi menyadari lagi betapa manusia tidak berdaya menghadapi kekuatan alam yang maha dahsyat.

Pemandu wisata yang meminta turis berteriak, “Mbah Maridjan, roso!” menjadi bukti bahwa Gunung Merapi dan Mbah Maridjan telah menjadi identitas yang kini tak terpisahkan.

Wisatawan bisa menyimaknya dengan membeli paket wisata perjalanan menggunakan mobil kap terbuka. Sungguh, harga yang dibayarkan sepadan dengan pengalaman yang diberikannya, wisata yang bukan sekadar hura-hura tetapi penuh kontemplasi.

Berdasarkan riset dancatatan sejarah, letusan-letusan kecil Gunung Merapi terjadi setiap 2-3 tahun dan yang lebih besar terjadi sekira 10-15 tahun sekali.

Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat pada 1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930.

Sementara pada era Indonesia modern, tercatat terjadi letusan pada 22 November 1994 dan menewaskan 60 orang.

Pada 19 Juli 1998 terjadi letusan besar tetapi material vulkanik yang dikeluarkan mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa.

Pada 2001 sampai 2003, tercatat aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus tanpa disertai erupsi ledakan tetapi membentuk kubah lava.

Tiga tahun berselang sesuai prediksi, Gunung Merapi kembali aktif pada 2006 dengan terus-menerus meluncurkan awan panas yang memaksa warga mengungsi dan menewaskan dua orang di Kaliadem. Mereka diterjang awan panas meski sempat masuk bunker

Sementara rangkaian letusan pada Oktober dan November 2010 dicatat sebagai yang terbesar sejak 1872. Korban meninggal sedikitnya 273 orang.***

Editor: Awang Dody Kardeli

Tags

Terkini

Terpopuler