Jenderal Sigit Prabowo Diadukan ke Komnas HAM, Ini Sederet Tuduhan yang Dilaporkan

19 Desember 2020, 19:45 WIB
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jendral Listyo Sigit Prabowo. /doc Divisi Humas Polri/

POTENSIBISNIS - Sosok Jenderal Sigit Prabowo jadi pembicaraan di acara Youtub, Refly Harun bersama pengacara petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Jumhur Hidayat.

Dalam perbincangan, Jumhur Hidayat telah melaporkan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo ke Komnas HAM.

Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya diduga melanggar unsur HAM dalam penangkapan dan proses hukum yang dilalui Jumhur Hidayat terkait kasus dugaan berita bohong dan penghasutan unjuk rasa penolakan omnibus law UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Jawab Tudingan Teddy, Rizky Febian dan Putri Delina Adakan Jumpa Pers untuk Ungkapkan Hal Ini

"Apa yang dilanggar? Ada banyak, ya. Pertama, proses penangkapan yang tidak sesuai dengan standar, yaitu tidak menunjukkan tanda pengenal dan tidak menunjukkan surat penangkapan," kata tim kuasa hukum Jumhur Hidayat, Nelson Nikodemus.

Nelson selaku tim kuasa hukum Jumhur menyebut, sangkaan tersebut tak berdasar.

Terlebih, karena bukti yang dikaitkan adalah cuitan Jumhur di akun Twitter yang menurutnya hanya berupa kritik terhadap UU Ciptaker dan investor.

Baca Juga: Soroti Jokowi, Rizal Ramli Sebut Ngelindur Puan Maharani: 'Kasihan Rakyat'

Sebelumnya, tim kuasa hukum Jumhur Hidayat menyampaikan, kepolisian juga tidak konsisten dalam menyatakan pasal yang disangkakan kepada Jumhur.

Ia mengatakan ketika pertama ditangkap, kliennya dituding menunggangi unjuk rasa.

Namun saat sudah ditangkap, yang disangkakan justru Pasal 45 A Ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran informasi yang memicu kebencian dan permusuhan terhadap kelompok tertentu.

Diketahui, Jumhur juga dijerat Pasal 160 KUHP terkait penghasutan.

Begitu ditahan, kata dia, Jumhur juga tidak diberi akses untuk bertemu dengan kuasa hukum.

Hingga hari ini, dia mengaku belum bisa bertatap muka langsung dengan kliennya.

Jumhur juga tidak diperbolehkan memilih kuasa hukum yang mendampinginya ketika diperiksa aparat.

Menurut dia, hal itu melanggar hak tiap orang untuk memilih kuasa hukumnya ketika terjerat hukum.

"Setelah ditahan di Bareskrim keluarga tidak boleh bertemu. Memang pernah bertemu sekali, tapi ya sudah itu saja. Dan pada saat bertemu (obrolan mereka) didengarkan oleh kepolisian," ujar Nelson.

Sebelumnya, Nelson menuliskan poin-poin pelanggaran HAM yang didapatkan kliennya.

Mulai dari tidak adanya surat penangkapan, hingga polisi yang memaksa masuk tanpa seizin pemilik rumah.

Dalam surat tercantum pihak terlapor atas nama Kabareskrim, Komjen Listyo Sigit.

"Bahwa pada 13 Oktober 2020 pukul 07.00 WIB, sebanyak 30 orang polisi pada Bareskrim Mabes Polri mendatangi Rumah Jumhur Hidayat."

"Tanpa adanya pendekatan komunikasi dengan penjaga gerbang rumah dan keluarga."

"Polisi langsung memaksa masuk rumah dan menggedor-gedor pintu kamar tidur Jumhur Hidayat dan istri (Alia Jumhur)," terangnya.

"Bahwa saat melakukan penangkapan, polisi tidak membawa, tidak menunjukkan dan tidak memberikan surat tugas jalan dan surat perintah penangkapan kepada Jumhur Hidayat dan keluarga, sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1) KUHAP," lanjutnya.

Pelimpahan berkas

Sejauh ini, berkas perkara beserta tersangka petinggi KAMI Jakarta Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat sudah dilimpahkan ke kejaksaan awal Desember.

Sementara itu, terhadap tersangka Anton Permana, kata Argo, sudah dilakukan pelimpahan tahap I.

"Untuk Syahganda Nainggolan sudah P21 tanggal 20 November 2020 dan sudah tahap kedua pada tanggal 3 Desember 2020. Selanjutnya untuk tersangka Jumhur Hidayat sudah P21 dinyatakan lengkap tanggal 24 November 2020, tahap kedua dilakukan tanggal 10 kemarin Desember 2020 sudah dilakukan," kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono di Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Jumat, 11 Desember 2020.***

Editor: Awang Dody Kardeli

Tags

Terkini

Terpopuler