Hari Pahlawan 10 November: Kenali Sosok Bung Tomo Mulai dari Pahlawan hingga Wartawan

2 November 2020, 17:53 WIB
Bung Tomo berwarna format PNG. /Seputar Lampung

POTENSIBISNIS - Peristiwa Hari Pahlawan yang diperingati tiap 10 November sejarah mencatat, bahwa arek-arek Suroboyo berperan penting dalam mengusir penjajah dari Tanah Air.

Ketika berbicara mengenai Hari Pahlawan, tentu memori bangsa akan teringat pada aksi heroik Sutomo atau yang lebih dikenal dengan Bung Tomo.

Bung Tomo dalam pertempuran di Surabaya saat melawan pasukan Inggris dan NICA-Belanda.

Baca Juga: Tagar Anies Manis Cebong Nangis Trending di Twitter, Buntut Cuitan Fadjroel ke Anies Baswedan

Bung Tomo ini dikenal sebagai orator ulung di depan corong radio, bahkan suara dan pekiknya takbir membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan para penjajah kala itu.

Namun di balik aksinya yang heroik itu, Bung Tomo menyimpan kepribadian menarik yang perlu diketahui.

Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur dan dibesarkan dari keluarga kalangan menengah.

Selain itu, ia merupakan keluarga yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi pendidikan.

Baca Juga: Demo Hari ini, Ribuan Pasukan Gabungan TNI-Polri Diturunkan untuk Amankan Jalannya Aksi

Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo yang merupakan seorang kepala keluarga dari kelas menengah.

Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, menjadi staf pribadi di sebuah perusahaan swasta menjabat asisten di kantor pajak pemerintah, serta pegawai kecil di perusahaan ekspo-impor Belanda.

1. Tidak tamat sekolah

Sosok Bung Tomo ternyata tidak menamatkan sekolah, hal itu terjadi pada saat ia berusia 12 tahun.

Baca Juga: Sederet Bansos 2021 akan Dihentikan, Berikut Bantuan Sosial Tunai yang Masih Bisa Didapat

Akan tetapi, Bung Tomo ini merupakan seorang pekerja keras mengaku mempunyai keterikatan darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponogoro. Ibunya pun berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda dan Madura.

Meski berasal dari keluarga menengah, Bung Tomo tak berpangku tangan. Ia tetap bekerja keras, dalam kondisi ini membuatnya terpaksa meninggalkan pendidikan di MULO karena harus melakukan pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.

Belakangan, Bung Tomo dapat menyelesaikan pendidikan HBS lewat korespondensi namun tak pernah resmi lulus.

HBS atau Heger Burger School merupakan pendidikan menengah umum pada zaman Hindia-Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar yakni bahasa Belanda.

Masa studi di HBI ini berlangsung selama 5 tahun atau setara dengan MULO+AMN atau SMP+SMA.

Dimasa muda, Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Bung Tomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.

Kemudian pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hinda-Belanda yangg mencapai peringkat Pandu Garuda.

2. Wartawan

Bung Tomo, selain dikenal sebagai orator ulung ternyata ia merupakan seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah.

Karya Bung Tomo tersebut selalu menghiasi Harian Soeara Oemoem, Harain berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer.

Bahkan ia juga menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Hingga Bung Tomo menuangkan tulisannya dalam sebuah surat cinta untuk calon istrinya. Kisah tersebut diungkap dalam buku berjudul 'Bung Tomo, Suamiku' yang ditulis istrinya, Sulistina Soetomo.

Dalam tulisannya itu, ia mengkisahkan awal perjumpaan dengan sang kekasih. Keduanya merupakan pejuang dan memulai kisah cintanya di medan pertempuran. Disuratnya, Bung Tomo menulis;

"Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tak akan mengecewakanmu.

Seorang pejuang tak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku."

Selanjutnya, Bung Tomo usai pertempuran di Surabaya, ia mengemban sejumlah jabatan penting pada periode 1955-1956.

Bung Tomo saat itu menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Kemudian Bung Tomo juga pernah duduk sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

3. Dipenjara di Era Orde Baru

Pada awal Orde Baru, Bung Tomo mendukung pemerintahan Soeharto karena dinilai tak berhaluan Komunis.

Namun, seja 1970, Bung Tomo mulai melayangkan kritik kebijakan Soeharto. Sikap kritisnya itu memang jadi bagian dari kepribadian Bung Tom, kala ia melihat ketidakberesan di depan matanya.

Dalam sebuah artikel yang ditulis Bung Tomo kepada Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan etnis Tionhoa.

Hal tersebut terekam dalam wawancara Bung Tomo dengan judul Bung Tomo Menggunggat: Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 telah dikhianati di Majalah Panji Masyarakat No 855 tahun XIII.

Selain itu, Bung Tomo juga kerap mengkritik adanya dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Orde Baru.

Empat tahun setelahnya putra kedua Bung Tomo, yaitu Bambang Sulistomo ditahan 2 tahun karena diduga terlibat untuk rasa pada peristiwa 15 Januari 1974 atau dikenal dengan peristiwa Malari.

Setelahnya, Bung Tomo yang ditahan akibat diduga terlibat unjuk rasa mahasiswa yang menentang kebijakan Orde Baru.

Bersamanya ditahan juga jurnalis Mahbub Juaedi dan ahli hukum Ismail Suny. Menurut Bambang, sejak keluar dari penjara. Bapak (Bung Tomo) tak lagi meledak-ledak meskipun hati, sikap dan kata-katanya tetap satu, konsisten.

4. Wafat di Mekah dimakamkan TPU biasa

Bung Tomo dikenal sangat religius dan bersungguh-sungguh dalam menerapkan ajaran agama.

Ia tak menganggap dirinya sebagai seorang muslim saleh, ataupun sebagai calon pembaharu dalam agama.

Hidupnya berakhir kala ia menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 2981, ia wafat di Padang Arafah.

Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Indonesia dan dimakamkan bukan di Taman Makam Pahlawan, namun di Pemakaman Umum di Ngagel, Surabaya sesuai keinginannya.

Meski wafat sejak lama, gelar sebagai Pahlawan Nasional baru disematkan kepadanya pada 10 November 2008.

Penyematan gelar terseut dilakukan pemerintah setelah didesak Gerapan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar pada 9 November 2007.

Keputusan tersebut tertuang dalam keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008. Pemberian gelar itu disampaikan Menkominfo, Mohammad Nuh kepada wartawan di Surabaya pada Minggu 2 November 2008.

Bung Tomo meski telah tiada, namun jasa-jasanya akan tetap dikenang bangsa. Anak Indonesia diharapkan dapat mencotoh semangat dalam membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi.***

Editor: Pipin L Hakim

Tags

Terkini

Terpopuler