Perlu Diketahui, Ini Penjelasan Terkait Isra Miraj dalam Pandangan Imu Pengetahuan

10 Maret 2021, 11:30 WIB
Ilustrasi Isra Miraj. / /Pixabay/john peter

 

POTENSI BISNIS - Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa penting yang tertuang dalam firman Allah Swt,

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ

ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Artinya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS: Al-Isra ayat 1)

Baca Juga: Sempat Ditunda, Film Seobok Dibintangi Gong Yoo dan Park Bo Gum Umumkan Jadwal Tayang Berikut

Berdasarkan Tafsir Al Muyassar, Sungguh Allah -Subḥānahu- Maha Suci lagi Agung; lantaran kekuasaan-Nya yang tidak bisa ditandingi oleh selain-Nya.

Dia lah yang memperjalankan hamba-Nya Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan jasad dan ruhnya serta dalam kondisi sadar (bukan mimpi) pada sebagian malam dari Masjidil Haram menuju Masjid Bait al-Maqdis (Al-Aqṣa).

Yang kami berkahi dan anugerahi tanah-tanah sekelilingnya dengan banyaknya buah-buahan, dan pertanian, serta sebagai tempat diutus dan menetapnya para Nabi -'alaihimussalām-.

Baca Juga: Tak Bisa Dampingi Persib, Rasa Ini yang Diucap Ridwan Kamil

Agar ia (Muhammad) menyaksikan sebagian tanda-tanda kebesaran Kami yang menunjukkan kekuasaan Allah -Subḥānahu-, karena sesungguhnya Dia Yang Maha Mendengar; tidak ada yang tersembunyi dari-Nya segala sesuatu yang terdengar, lagi Maha Melihat; tidak ada yang tersembunyi dari-Nya segala sesuatu terlihat.

Menurut Prof. Dr. H.M. Zainuddin, MA menyatakan, bahwa dalam studi Islam dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan rasional-spikulatif-idealistik dan pendekatan rasional-empirik.

Pendekatan pertama adalah pendekatan filosofis, yaitu pendekatan yang digunakan terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah yang bersifat metafisik, termasuk dalam hal ini adalah peristiwa mi’raj nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Kerap Merasa Gundah? Ini 5 Tips Menjadi Sahabat bagi Diri Sendiri

Dari Masjidil Aqsha ke Sidrat al-Muntaha yang tidak membutuhkan jawaban empirik karena keterbatasan rasio manusia;

kedua adalah pendekatan scientific (keilmuan), yaitu pendekatan terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia.

Mi’raj Nabi Muhammad saw. dari Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha pada 27 Rajab dalam waktu yang amat cepat merupakan peristiwa spektakuler yang mengundang reaksi keras dari kalangan kafir Quraisy saat itu, bahkan hingga sekarang.

Ada yang mengatakan peristiwa itu terjadi dalam mimpi, bukan dalam alam nyata, atau terjadi pada diri Muhammad dengan ruhnya bukan jasadnya.

Kaum empiris dan rasionalis boleh mempersoalkan dan menggugat dengan sejumlah sanggahan:

Bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini dapat terjadi?

Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang membakar tubuhnya?

Bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Menurut kaum empiris dan rasionalis hal ini tidak mungkin terjadi.

Bisa dimaklumi jika kaum empiris dan rasionalis mempertanyakan peristiwa yang spektakuler itu.

Sebab mereka memandang segala sesuatunya berdasarkan realita empiris dan yang rasional saja. Padahal Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang sublim.

Sebagaimana konsep keilmuan Barat, bahwa sesuatu disebut ilmiah (secara ontologis) jika lingkup penelaahannya berada pada daerah jelajah atau jangkuan akal pikiran manusia.

Dan sesuatu dianggap benar jika didasarkan pada tiga hal: koherensi, korespondensi dan pragmatisme.

Penganut positivisme hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran yang bersifat inderawi, yang teramati dan terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapa pun.

Dalam konsep keilmuan Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri-sensual (induktif), empiri-logik (deduktif) atau logico-hipotetico-verificatif, artinya baru disebut sebagai ilmu jika telah dibuktikan kebenarannya secara empiris.

Jelaslah dari sini, jika peristiwa Mi’raj dilihat dari perspektif keilmuan Barat, maka ia tidak dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah melainkan hanya bersifat dogma dan sistem kepercayaan (credo).

Namun, jika dilihat dari prespektif keilmuan Islam, maka persoalannya menjadi lain, ia tetap ilmiah dan benar, sebab dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden, yaitu pengakuan adanya kebenaran yang datang dari Tuhan.

Pengakuan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik (misalnya adanya Tuhan, malaikat, hari kebangkitan, surga, neraka dan seterusnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, melainkan persolan-persoalan metafisik tersebut benar adanya (realistis).

Sesuatu yang tidak atau belum terjangkau oleh akal pikiran manusia tidaklah selalu menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu itu sendiri, sebab Al-Qur’an menyebutkan :“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (QS. Al-Isra’ ayat 85).

Apa yang ditegaskan Al-Qur’an tentang keterbatasan pengetahuan manusia tersebut juga diakui oleh para ilmuwan abad 20.

Schwart misalnya –seorang pakar matematika kenamaan Perancis—menyatakan, bahwa fisikawan abad ke-19 berbangga diri dengan kemampunnya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak sekalipun.

Sedangkan fisikawan abad 20 yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya meski yang disebut materi sekalipun.

Teori Black Holes menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3 persen saja, sedangkan 97 persennya di luar kemampuan manusia.

Itulah sebabnya seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu“.

Lalu Imanual Kant juga berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi penyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya“.***

Editor: Pipin L Hakim

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler