Pahami! Pendapat Tentang Rokok Elektrik, Bahaya atau Sebaliknya

24 Januari 2021, 13:10 WIB
Ilustrasi rokok elektrik dan liquid vape berbahaya /Mohamed_Hassan/PIXABAY


POTENSIBISNIS - Rokok elektronik atau vape sedang tren dan menjadi alternatif bagi perokok bahkan menjadi bagian gaya hidup masa kini dan semakin populer.

Meningkatnya pengguna rokok elektronik tak lepas dari klaim sebagai rokok yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Apalagi, rokok tembakau menimbulkan bau dari asapnya.

Rokok elektronik pertama kali dikembangkan pada tahun 2003 oleh SBT Co Ltd, sebuah perusahaan yang berbasis di Beijing, China yang sekarang dikuasai oleh Golden Dragon Group Ltd sejak tahun 2004.

 

Baca Juga: Istri Sule Kabarkan Berita Duka, Nathalie : Sebenarnya Sedih tapi Harus Tetap Semangat

Selain itu, banyak anggapan rokok elektronik lebih hemat daripada rokok biasa karena bisa diisi ulang.

Bentuknya seperti batang rokok biasa, tetapi tidak membakar tembakau seperti produk rokok konvensional.

Rokok ini memanaskan cairan menggunakan baterai dan uapnya masuk ke paru-paru pemakai.

Baca Juga: Rasa Syukur Ariel NOAL Setelah Keluar Penjara usai Terlibat Skandal Video Syur Jadi Tolok Ukur dalam Karier

Rokok elektronik dianggap sebagai alat penolong bagi mereka yang kecanduan rokok supaya berhenti merokok.

Alat ini dipasarkan sebagai alternatif yang lebih aman dari produk tembakau biasa. Label ‘HEALTH’ pun terpasang jelas pada kemasannya.

Namun hingga kini keberadaannya masih menuai kontroversi dan di sebagian besar negara dianggap sebagai produk yang ilegal dan terlarang.

Peneliti Amerika Serikat baru-baru ini dikejutkan dengan rokok elektrik atau yang sering dikenal Vape, ternyata berbahaya dan membahayakan protein penting melalui paparan.

Menurut Studi, vape dapat menyebabkan orang yang mengisapnya lebih stres dan berakibat pada organ tubuh yaitu radang paru-paru.

Lebih lanjut lagi peneliti mengungkapkan, para Vaping dapat menyebabkan perubahan protein secara halus. Studi mengatakan, mereka baru pertama kalinya mengukur kerusakan tersebut.

Mereka katakan hal tersebut dibuat oleh teknik biomolekuler di bawah para peneliti Department of Energy's Pacific Northwest National Laboratory, Amerika Serikat, dikutip PotensiBisnis.com dari Pikiran Rakyat.

Para peneliti melakukan uji coba pada tikus yang disemprot uap Vape dalam satu jam pada tiga sesi selama tiga hari.

Pada tikus tersebut, para peneliti menemukan tanda-tanda stres oksidatif.
Stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan kemampuan tubuh dalam mengurangi efek berbahaya.

Sebelumnya peneliti menunjukkan vaping dapat membuat jaringan stres, tetapi, detail mekanisme di balik stres itu tetap tidak jelas.

“Teknik ini mengidentifikasi protein mana yang sedang dimodifikasi, dan ini menunjukkan seberapa besar kemungkinan mereka mempengaruhi fungsi protein dan jalur molekuler. Ini memberi kami banyak wawasan tentang mekanisme di balik efek merugikan dari rokok elektrik,” kata Ansong.

Namun berbeda dengan Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti, dalam risetnya menyatakan bahwa rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah daripada rokok biasa terhadap masalah pernapasan dan kecanduan.

Bahkan persepsi konsumen di Indonesia sebanyak 73 persen yakin bahwa bahaya merokok adalah karena nikotin.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Bidang Pengawasan Produk Hasil Pertanian, Aneka Ragam Kewirausahaan, Kementerian Perdagangan, Amiridin Sagala.

Berdasarkan riset Kementerian Perdagangan, pengguna HPTL, khususnya rokok elektrik saat ini sudah mencapai 2,2 juta, jumlah outlet penjual mencapai lima ribu.

Menurut Amirudin, jumlah pengguna HPTL di Indonesia itu sudah cukup besar. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan barang beredar yang lebih ketat menggunakan UU Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen serta penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). ***

Editor: Muhammad Sadili

Sumber: Antara Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler