Sejarah Malam 1 Suro di Kenal Sakral, Apakah ada Hubungannya dengan 10 Asyura Bulan Muharram?

- 20 Agustus 2020, 22:01 WIB
Ilustrasi malam satu suro./pixabay
Ilustrasi malam satu suro./pixabay /

 

POTENSI BISNIS - Malam tanggal 10 bulan suro jika ditilik dari bahasa Arab yakni Asyura, dengan demikina istiliah suro telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia khusus di Jawa. Kemudian istilah suro dijadikan sebagai bula permulaan hitungan dalam Takwim Jawa. Sedangkan di dalam ajaran Islam istilah suro, sebagaimana telah dipahami oleh masyarakat muslim ialah bulan Muharram.

Di sisi lain, malam satu suro yang merupakan awal dari bulan Muharram ini ternyata telah ada sejak zaman kejaan dahulu, ketika zaman Kerajaan Mataram Islam kala itu dipimpin oleh Sultas Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645, yang menyebut malam itu dengan nama bulan Suro.

Demikian hal itu terjadi karena sang Sultan ingin mengubah kalender Saka yang merupakan perpaduan kalender Jawa dan Hindu. Sultan ingin memadankannya dengan penanggalan Hijriyah, sehingga dengan adanya suro masyarakat Jawa pedalaman yang memakai kalender dengan sistem Saka juga penduduk islam pesisir yang memakai sistem Hijriyah bisa bersatu.

Dilihat dari sisi Kejawen, suro memang dianggap sakral dan istimewa. Salah satu bukunya yang berjudul Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa karangan Muhammad Sholikhin menerangkan bahwa pada malam tersebut ialah malam kedatangan Aji Saka yang membebaskan masyarakat Jawa dari Makhluk gaid raksasa.

Tidak hanya itu, terdapat pula alasan lain yang menyebabkan satu suro ini dikenal sebagai waktu istimewa. Pertama, secara turun temurun masyarakat Jawa percaya, bahwa bulan suro merupakan kelahiran aksara Jawa, serta disebut juga sebagai hari pulangnya arwah para keluarga yang sudah meninggal.

Untuk di beberapa daerah seperti Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, atau Kasepuhan Cirebon masih kental adat istiadat dalam melaksanakan perayaan masing-masing. Misalnya, 'Tapa Bisu' yang dilakukan di Kota Yogyakarta dan Solo. Kegiatan tersebut merupakan ritual mengunci mulut dengan tidak berkata apapun. Terkhusu bagi para Abdi Dalem yang akan berjalan mengelilingi benteng keraton.

Sementara itu, di Kesunanan Surakarta dilakukan penyucian benda pusaka serta kirab kebo bule Kyai Slamet untuk turut ke jalan. Kirab tersebut akan dilakukan sesuai dengan keinginan sang Kyai. Biasanya dalam kirab itu orang akan berbondong-bondong mengalap berkah dengan menyentuh atau mengambil kotoran kerbaunya.

Akan tetapi di malam satu suro ini ada yang mengatakan bisa membawa sial, karena hal itu maka terdapat larangan yang tidak boleh dilakukan saat malam satu suro. Sebagaimana dikuti deri berbagai sumber, ketika datangnya malam satu suro masyakat tidak boleh menyelenggarakan pesta pernikahan, berpergian jauh, mengadakan hajatan lain, hingga pindah rumah. Sebaiknya pada malam satu suro, dianjurkan untuk begadang sepanjang malam yang diisi dengan ritual mendekatkan diri kepada Sang Maha Satu (Allah) SWT.

Bahkan sudah lebih, sejak pra-Islam, Muharram atau suro ini telah dikenal kemudian pada masa Nabi hingga Umar bin Khattab di resmikan sebagai penanggan tetap bulan pertama islam dalam tahun Hijriyah. Secara bahasa Muharram ini berarti bulan di istimewakan dan dimuliakan.

Halaman:

Editor: Pipin L Hakim


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x